Batam Produksi Kapal Berbahan Bakar Ganda Pertama di Indonesia
Galangan Kapal Pax Ocean di Batam, Kepulauan Riau, merampungkan pembuatan kapal berbahan bakar ganda pertama di Indonesia.
Oleh
PANDU WIYOGA
·3 menit baca
BATAM, KOMPAS – Galangan Kapal Pax Ocean di Batam, Kepulauan Riau, merampungkan pembuatan kapal berbahan bakar ganda pertama di Indonesia. Kapal tunda bertenaga gas alam cair dan solar itu dipesan PT Pertamina Trans Kontinental untuk dioperasikan di Lhokseumawe, Aceh.
CEO Pax Ocean Tan Thai Yong di Batam, Rabu (21/8/2019), mengatakan, pembuatan kapal tunda yang dinamai Transko Rajawali itu memakan waktu 18 bulan. Tantangan utama adalah membuat tangki bahan bakar gas alam cair atau LNG yang mudah dibongkar-pasang saat isi ulang.
Modelnya seperti gas rumahan yang tinggal dilepas jika habis dan diganti dengan yang baru.
“Modelnya seperti gas rumahan yang tinggal dilepas jika habis dan diganti dengan yang baru. Dengan begitu, pengisian bahan bakar lebih mudah karena tangki tersebut bisa dibawa ke stasiun pengisian, sekalipun jaraknya jauh dari pelabuhan,” kata Tan.
Pada umumnya, tangki LNG diletakkan di dek bawah kapal sehingga pengisian bahan bakar hanya bisa dilakukan di pelabuhan. Khusus untuk tangki Transko Rajawali, tangki bahan bakar itu letaknya berada di dek atas di bagian buritan agar pengisian bahan bakar bisa fleksibel.
Menurut Presiden Direktur PT Pertamina Trans Kontinental, Nepos MT Pakpahan, belum banyak pelabuhan Indonesia yang menyediakan fasilitas pengisian LNG. Untuk menyiasatinya, dibuatlah tangki bahan bakar yang bisa dilepas dan diangkut ke tempat pengisan LNG terdekat menggunakan transportasi darat.
“Biaya pembuatan kapal ini Rp 120 miliar, lebih mahal 150 persen daripada kapal tunda konvensional yang menggunakan mesin diesel. Namun, dalam jangka panjang akan lebih menguntungkan karena biaya operasional per tahunnya lebih hemat 15 persen,” ujar Nepos.
Kapal itu selanjutnya akan digunakan PT Pertamina Trans Kontinental membantu operasional PT Perta Arun Gas di Lhokseumawe, Aceh. Karena itu, kapal tunda tersebut dari awal dirancang agar menggunakan jenis bahan bakar yang sesuai dengan hasil produksi PT Perta Arun Gas.
Mesin diesel Transko Rajawali hanya diaktifkan saat kapal membutuhkan daya dorong atau kecepatan tambahan. Saat berlayar dalam kecepatan normal, bahan bakar yang digunakan sepenuhnya adalah LNG.
Sistem itu memberikan dua keuntungan. Yang pertama, penggunaan bahan bakar menjadi lebih efisien, terutama dalam pelayaran jarak jauh. Kedua, LNG lebih ramah lingkungan dibanding solar.
Alih teknologi
Tan mengatakan, lebih dari 90 persen pekerja yang terlibat dalam pembuatan Transko Rajawali adalah orang Indonesia. Dengan begitu, diharapkan ada keuntungan alih teknologi yang didapat pekerja lokal dalam pengerjaan kapal berbahan bakar ganda pertama di Indonesia tersebut.
“Total ada 900 pekerja di galangan kapal Pax Ocean Batam, 40 orang di antaranya merupakan tenaga kerja asing. Saya yakin pengalaman membuat kapal Transko Rajawali akan meningkatkan kompetensi tenaga kerja lokal,” kata Tan.
Terkait bahan dan komponen kapal yang digunakan, Tan menyatakan, 60 persen komponen termasuk mesin masih harus diimpor. Saat ini, komponen asal Indonesia yang digunakan baru sebatas bahan mentah, salah satunya adalah plat baja.
“Kami akan senang kalau ada industri dalam negeri yang bisa memasok komponen kapal. Mereka akan diutamakan karena pasti harganya lebih murah dan pengirimannya mudah,” ujar Tan.
Fasilitas pengisian LNG di Indonesia yang masih minim juga membuat kami belum berani menambah jumlah kapal berbahan bakar ganda.
Nepos mengatakan, sesuai rencana awal, Transko Rajawali akan lebih banyak beroperasi di sekitar lingkungan PT Perta Arun Gas. Belum ada rencana PT Pertamina Trans Kontinental menambah jalur operasi kapal tersebut.
“Kami belum berani mengoperasikan kapal ini di lain tempat. Fasilitas pengisian LNG di Indonesia yang masih minim juga membuat kami belum berani menambah jumlah kapal berbahan bakar ganda,” kata Nepos.
Selain itu, target pendapatan PT Pertamina Trans Kontinental pada tahun ini yang belum memenuhi target juga memaksa mereka untuk berhemat. Dari target pendapatan tahun 2019 sebesar Rp 2 triliun, hingga Agustus ini mereka baru bisa mengumpulkan Rp 800 miliar.
Arah pengembangan usaha PT Pertamina Trans Kontinental adalah melebarkan sayap bisnis untuk melayani perusahaan di luar grup Pertamina. “Kami akan menambah kapal pengangkut bahan petrokimia, terutama aspal, yang pangsa pasarnya besar tetapi belum terlayani maksimal,” ujar Nepos.