Perjuangan kemerdekaan bagi warga penyandang tunanetra belum selesai. Masih ada sebagian pihak yang merenggut hak mereka untuk berjalan dengan nyaman di trotoar. Jalan panjang harus ditempuh agar ”kemerdekaan” dalam berjalan kaki itu bisa diraih.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·5 menit baca
Perjuangan kemerdekaan bagi warga penyandang tunanetra belum selesai. Masih ada sebagian pihak yang merenggut hak mereka untuk berjalan dengan nyaman di trotoar. Jalan panjang harus ditempuh agar ”kemerdekaan” dalam berjalan kaki itu bisa diraih.
Sebanyak 10 penyandang tunanetra berdiri berjejer di salah satu sudut, Titik Nol Km, Kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Sabtu (17/8/2019). Semuanya berpakaian hitam. Salah satu dari mereka ada yang menenteng pengeras suara. Ia berorasi dengan agak malu-malu.
”Mohon maaf bapak ibu sekalian. Baik bagi pedagang kaki lima maupun pejalan kaki lainnya. Terlebih jika kami pernah tidak sengaja menabrak atau mengenai bapak ibu dengan tongkat pemandu jalan kami. Kami hanya tunanetra yang berusaha berjalan di jalur kami,” kata Wardi (35), seorang penyandang tunanetra.
Sabtu siang itu, Komunitas Tunanetra Nasional mengadakan sosialisasi mengenai fungsi guiding block yang dipasang di sepanjang trotoar kawasan Malioboro. Guiding block itu digunakan untuk memandu penyandang tunanetra saat berjalan kaki di trotoar. Bentuknya persegi panjang dan lingkaran. Setiap bentuk punya arti tersendiri.
Di atas guiding block itu seharusnya penyandang tunanetra berjalan kaki saat berada di trotoar. Guiding block berbentuk persegi panjang, artinya mereka bisa terus berjalan kaki lurus. Jika berdiri di guiding block berbentuk lingkaran, mereka diminta berhenti terlebih dahulu.
Biasanya, bakal ada belokan atau persimpangan yang menuntun mereka untuk guiding block berbentuk persegi panjang, artinya penyandang tunanetra bisa terus berjalan kaki lurus. Sementara itu, jika menemui guiding block berupa lingkaran, mereka harus berhenti terlebih dahulu. Itu jadi penanda akan ada lintasan yang berubah mulai dari berbelok hingga persimpangan.
Setelah berorasi sembari menyampaikan keluh kesah mereka selama berjalan di guiding block, sekelompok penyandang tunanetra itu melanjutkan dengan aksi berjalan kaki. Mereka mulai berjalan dari mengelilingi semua jalur guiding block di kawasan Malioboro dimulai dari Titik Nol Km, dan nanti kembali lagi ke titik tersebut.
Sepanjang jalan, melalui pelantang suara, mereka menjelaskan kepada orang yang berada di sekitar mereka tentang kegunaan guiding block. Terlihat beberapa kali mereka agak kesulitan berjalan karena jalur guiding block tertutup lapak pedagang kaki lima. Para pedagang itu menjadi sungkan dan buru-buru memindahkan barang dagangannya agar jalur bagi penyandang tunanetra itu tidak terhalangi.
Padahal, di sepanjang trotoar kawasan Malioboro, banyak sekali pelapak yang menggelar dagangannya. Hampir setiap kali berjalan sejauh 10 meter, ada setidaknya 4-5 pedagang kaki lima.
Baru tahu juga saya fungsi (guiding block). Selama ini, berarti saya salah jika berjalan di jalur itu, apalagi kalau saya berhenti lama.
Terlihat pula beberapa pejalan kaki tampak baru mengerti fungsi dari guiding block itu. Mereka mengangguk-anggukkan kepala sambil mendengarkan penjelasan sekelompok penyandang tunanetra yang sedang menggelar aksi tersebut.
”Baru tahu juga saya fungsi (guiding block). Selama ini, berarti saya salah jika berjalan di jalur itu, apalagi kalau saya berhenti lama,” kata Adit (34), salah satu pejalan kaki yang melihat aksi para penyandang tunanetra itu.
Ketua Komunitas Tunanetra Nasional Budi Arfan mengatakan, informasi tentang kegunaan guiding block memang belum banyak diketahui masyarakat luas. Aksi berwujud sosialisasi itu ingin mengajak masyarakat lebih memperhatikan kelompok disabilitas, khususnya tunanetra, saat berjalan di trotoar. Mereka adalah bagian dari pengguna jalan yang harus juga dipenuhi haknya.
”Ini sekalian saja saya adakan dalam peringatan kemerdekaan. Kami (tunanetra) juga ingin merdeka di jalan. Kami juga warga negara yang mempunyai hak yang sama. Mungkin, jalan kaki rasanya hal yang kecil, tetapi itu sangat berarti bagi kami,” kata Budi.
Lebih mandiri
Budi menambahkan, bebasnya jalur guiding block dari gangguan pedagang kaki lima dan penghambat lainnya mendorong penyandang tunanetra untuk mandiri. Mereka tidak perlu khawatir akan menabrak orang lain jika sedang berjalan sendiri.
”Sering sekali kami ingin pergi keluar berjalan-jalan. Tapi, kalau guiding block itu banyak penghalangnya, kami sering khawatir. Jadi, kami meminta teman atau saudara kami untuk menemani. Kami kadang merasa tidak enak jika harus merepotkan orang,” kata Budi.
Dihubungi secara terpisah, Kepala Bidang Cipta Karya Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral DIY Arief Azazie Zain mengatakan, pembangunan fasilitas umum sudah menerapkan prinsip perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Fasilitas umum dibangun dengan upaya pemenuhan hak-hak difabel guna mempermudah mereka mengakses fasilitas tersebut.
”Diterapkan desain universal. Itu semua mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Prinsip desain ini juga mengutamakan kesetaraan penggunaan ruang, keselamatan, dan keamanan bagi semua pihak,” kata Arief.
Namun, Arief tak memungkiri, belum seluruh masyarakat sadar dan bijak memanfaatkan fasilitas umum yang ada. Fasilitas bagi penyandang disabilitas tidak terlalu diperhatikan dengan baik. Di sisi lain, pengawasan memang perlu diperketat lagi agar penyandang disabilitas terpenuhi haknya di ruang publik. ”Fasilitas yang ada perlu dijaga bersama,” kata Arief.
Selain itu, DIY juga sudah memiliki aturan yang diterapkan dengan mengedepankan perlindungan bagi penyandang disabilitas, sejak 2012. Hal itu termuat dalam Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pemenuhan dan Perlindungan Hak-hak Penyandang Disabilitas. Aturan itu turut menuntut agar fasilitas umum bisa diakses pula oleh para penyandang disabilitas.
Diterapkan desain universal. Itu semua mempertimbangkan kebutuhan dan kemampuan penyandang disabilitas, lansia, ibu hamil, dan anak-anak. Prinsip desain ini juga mengutamakan kesetaraan penggunaan ruang, keselamatan, dan keamanan bagi semua pihak.
Kepala Unit Pelaksana Terpadu Malioboro Ekwanto menegaskan, jalur guiding block bagi penyandang disabilitas tidak boleh dihalangi. Para pedagang kaki lima sudah berulang kali disosialisasikan mengenai hal itu. Mereka sering mencuri-curi kesempatan agar bisa melebarkan lapak dagangannya.
”Memang masih bisa diakses (jalannya), tetapi sangat mepet dengan dagangan PKL. Kami akan menindaklanjuti jika ada PKL yang masih melakukan itu (menutup jalur penyandang disabilitas),” ujar Ekwanto.
Jalan yang harus dilalui penyandang tunanetra untuk merasa bebas kala berjalan di trotoar amat panjang dan berliku. Itu tidak bisa diwujudkan sendirian. Butuh kesadaran bersama agar kesetaraan di ruang publik itu benar-benar dirasakan oleh semua pihak.