Asap Kebakaran di Musi Banyuasin Mengarah ke Jambi
Kebakaran lahan masih terjadi di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel. Bahkan, asap kebakaran sudah mengarah ke Jambi. Lima pesawat bom air diterjunkan untuk memadamkan api.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Kebakaran lahan masih terjadi di Desa Muara Medak, Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Bahkan, asap kebakaran sudah mengarah ke Jambi. Lima pesawat bom air diterjunkan untuk memadamkan api.
Kepala Bidang Penanggulangan Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumsel Ansori, Kamis (15/8/2019), mengatakan, kebakaran masih terjadi di Muara Medak, bahkan kebakaran sudah mengarah ke Jambi, membakar semak belukar dan tanaman gambut di sekitarnya. Berdasarkan data terakhir, kebakaran di sana sudah mencapai 150 hektar. ”Tim darat dan udara terus berupaya untuk memadamkan api,” katanya.
Untuk mengoptimalkan pemadaman dari udara, dua helikopter milik PT Sinar Mas dikerahkan untuk memadamkan api. ”Dua helikopter ini berada di wilayah Bayung Lencir sehingga dapat membantu proses pemadaman dari udara,” ujarnya. Adapun tiga helikopter milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana diterbangkan dari Palembang.
Tim darat dan udara terus berupaya untuk memadamkan api.
Pekatnya asap saat ini sudah mengarah ke Jambi. Ansori mengatakan, lokasi kebakaran memang sangat dekat dengan wilayah Jambi. Bahkan, untuk masuk ke lokasi kebakaran, tim darat harus memasuki wilayah Jambi lebih dulu. Untuk itu, pemadaman di Muara Medak menjadi prioritas utama.
Selain di Musi Banyuasin, kebakaran juga masih membara di sejumlah wilayah, seperti Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Banyuasin. ”Untuk itu, tim darat kami bagi ke beberapa wilayah. Namun, untuk helikopter, masih difokuskan di wilayah Musi Banyuasin,” lanjutnya.
Menurut Ansori, saat ini, luas wilayah kebakaran di Sumsel terus meningkat, sudah mencapai 957,25 hektar. Angka itu bisa saja bertambah karena kebakaran masih berlangsung.
Sekat kanal dirusak
Kepala Sub-Kelompok Kerja Wilayah Sumsel Badan Restorasi Gambut Onesimus Patiung mengatakan, sebenarnya di kawasan tersebut sudah dibangun kanal untuk menjaga kadar air di dalam gambut. Hanya saja, kanal tersebut rusak karena adanya aktivitas warga dengan kendaraan berat yang selalu melintas.
Selain itu, ujar Onesimus, ada aktivitas penebangan liar di sekitar kawasan tersebut sehingga mengganggu kondisi lahan gambut di sana. Padahal, keberadaan air sangat penting untuk mencegah kebakaran di lahan gambut. Adapun di kawasan konservasi yang masih terjaga sekat kanalnya, kawasan muka air gambut juga masih terbakar.
”Di kawasan tersebut belum ada kebakaran dan saya harap tidak ada kebakaran,” ucapnya.
Kepala Badan Restorasi Gambut Nazir Foead, saat berkunjung ke Pusat Kerbau Rawa di Kecamatan Rambutan, Kabupaten Banyuasin, mengatakan, pihaknya berharap kepolisian menindaklanjuti adanya kerusakan fasilitas negara termasuk sekat kanal yang sudah dibangun di kawasan tersebut.
Keberadaan sekat kanal, lanjut Nazir, sangat dibutuhkan untuk menjaga tinggi muka air di permukaan gambut minimal 40 sentimeter di atas permukaan gambut. Dengan cara ini, api tidak bisa membakar lahan gambut. Namun, di beberapa kawasan, lahan gambut sudah sangat kering. Bahkan, di sejumlah wilayah seperti Riau, penurunan tinggi muka air bisa mencapai 1 meter.
Di sisi lain, ujar Nazir, perlu ada program yang membangkitkan perekonomian masyarakat agar memiliki kepedulian untuk tidak membakar lahan karena adanya aset ekonomi di lahan gambut tersebut. Dia mencontohkan lahan gambut di Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau.
Di sana, lanjutnya, masyarakat membangun sekat kanal untuk mengelola kadar air di lahan gambut. Saat itu, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk membangun 11 kanal permanen guna menjaga kadar air gambut. Hasilnya, saat dia berkunjung ke kawasan itu beberapa waktu lalu, tinggi air di gambut tersebut masih setara dengan permukaan tanah. ”Padahal, di kawasan tersebut sudah tidak hujan selama tiga bulan,” katanya.
Selain itu, warga juga menanam sagu di sisi kanan dan kiri kanal. Karakteristik sagu itu, semakin basah gambut, semakin tinggi produktivitasnya. ”Ketika gambut itu basah, produktivitas sagu yang dihasilkan lebih tinggi 50 persen dibanding ketika gambut itu kering,” ujar Nazir.
Itulah alasan masyarakat di sana sangat menjaga lahan gambutnya tetap basah. Dengan kondisi lahan gambut yang basah, risiko kebakaran lahan semakin rendah.