Petani cabai di Banyuwangi, Jawa Timur menilai harga tinggi yang saat ini terjadi di pasaran wajar karena panen raya belum tiba. Tingginya harga cabai diperkirakan hanya akan berlangsung satu hingga dua bulan ke depan.
Oleh
ANDREAS BENOE ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
BANYUWANGI, KOMPAS — Petani cabai di Banyuwangi, Jawa Timur, menilai harga tinggi yang saat ini terjadi di pasaran wajar karena panen raya belum tiba. Tingginya harga cabai diperkirakan hanya akan berlangsung satu hingga dua bulan ke depan. Untuk itu, impor tidak perlu dilakukan.
Ketua Kelompok Petani Cabai Tani Murni Wongsorejo Ahmad Jamali mengatakan, panen raya cabai akan tiba 1-2 bulan yang akan datang. Untuk itu, petani menolak rencana impor cabai yang diwacanakan pemerintah pusat.
Jika direalisasikan, impor cabai tentu akan merusak harga jual cabai sehingga membuat petani merugi. ”Kelompok tani kami memiliki 40 hektar (ha), yang saat ini panen hanya sekitar 2 ha, sedangkan 38 ha lainnya akan panen bulan September atau Oktober,” ujarnya.
Ahmad mengatakan, wajar harga cabai mahal sebab para petani baru akan memasuki masa panen. Cabai yang dipanen ialah cabai yang ditanam di lahan tadah hujan.
Di tingkat petani, harga jual cabai rawit merah berkisar Rp 60.000 hingga Rp 65.000 per kilogram (kg). Harga tersebut naik dibandingkan bulan lalu berkisar Rp 40.000-Rp 45.000 per kg.
Ahmad mengatakan, kenaikan harga cabai terjadi sejak awal Juli. Di bulan Juni, harga cabai justru anjlok berkisar Rp 6.000-Rp 10.000 per kg. ”Saat harga anjlok, pemerintah tidak mengambil tindakan apa pun untuk membantu petani. Kini saat harga tinggi, pemerintah membantu konsumen, tetapi justru menyengsarakan petani,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Wakil Ketua Asosiasi Agrobisnis Cabai Indonesia (AACI) Jawa Timur Nanang Tri Atmoko. Ia mengatakan, AACI Jawa Timur menolak wacana pemerintah jika akan melakukan impor cabai.
”Pemerintah harusnya bersabar dan menahan rencana impor cabai. Tingginya harga cabai hanya akan berlangsung 1 bulan hingga 2 bulan. Biarkan petani menikmati harga tinggi ini untuk menutup kerugian berbulan-bulan di awal tahun,” tuturnya.
Nanang mengatakan, hingga Mei, petani cabai merugi karena harga cabai anjlok. Di Banyuwangi, harga cabai di tingkat petani dihargai Rp 3.000 per kg. Padahal, petani baru bisa balik modal apabila harga jual Rp 10.000-Rp 12.000 per kg.
Biarkan petani menikmati harga tinggi ini untuk menutup kerugian berbulan-bulan di awal tahun.
Jika kebijakan impor dilakukan, lanjut Nanang, justru akan berdampak pada kelangkaan cabai. Pasalnya, jatuhnya harga cabai karena impor membuat petani tidak mampu dan enggan menanam cabai lagi.
”Jika petani merasa menanam cabai tidak menguntungkan, mereka tidak mau lagi menanam. Kalau itu terjadi, akan ada kelangkaan cabai. Dampaknya, harga cabai justru semakin tidak terkendali,” tuturnya.
Kepala Bidang Hortikultura dan Perkebunan Dinas Pertanian Banyuwangi Achmad Khoiri mengatakan, ketersediaan cabai di Banyuwangi masih sangat cukup. Apabila kebijakan impor dipaksakan, justru akan berdampak pada petani-petani kecil di daerah.
Khoiri menjelaskan, hingga Agustus 2019, luas areal tanaman cabai di Banyuwangi seluas 6.831 ha yang terdiri dari cabai rawit 3.851 ha dan cabai merah besar 2.980 ha. Hingga Agustus, panen sudah dilakukan pada 1.837 ha lahan cabai rawit merah dan 920 ha cabai merah besar.
”Selama Agustus hingga November akan ada 1.980 ha lahan cabai rawit merah yang dipanen dengan perkiraan produksi hingga 11.880 ton, sedangkan lahan cabai merah besar yang akan dipanen selama Agustus hingga November sekitar 1.520 ha dengan perkiraan produksi mencapai 15.200 ton,” tuturnya.
Petani cabai yang memiliki panenan, lanjut Khoiri, sedang gembira karena menikmati harga tinggi. Kegembiraan tersebut baru dirasakan sekitar 2 bulan terakhir. Kondisi ini tidak pernah mereka alami dalam 2 tahun terakhir. Sejak 2017 hingga juni 2019, harga cabai selalu tidak menguntungkan petani.