Kekeringan telah memaksa kalangan warga Jawa Timur merogoh kocek lebih dalam untuk membeli air. Mereka terpaksa menebus air bersih dengan harga tinggi karena bantuan dari pemerintah terbatas dan tidak mencukupi.
Oleh
AGNES SWETTA PANDIA/AMBROSIUS HARTO
·3 menit baca
TULUNGAGUNG, KOMPAS — Kekeringan telah memaksa kalangan warga Jawa Timur merogoh kocek lebih dalam untuk membeli air. Mereka terpaksa menebus air bersih dengan harga tinggi karena bantuan dari pemerintah terbatas dan tidak mencukupi.
Pemantauan Kompas dari Banyuwangi, Blitar, Malang, dan Tulungagung, kalangan warga yang ditemui mengatakan, ada sejumlah desa yang sudah krisis air. Warga ada yang menempuh perjalanan lebih dari 10 kilometer untuk mengambil air dari waduk, telaga, bendungan, atau goa. ”Yang penting ada air,” kata Sugiyanto, warga Tulungagung, Selasa (30/7/2019).
Yang penting ada air.
Warga membeli air bersih dari perusahaan penyalur. Harganya Rp 200.000 per truk tangki berkapasitas 5.000 liter. Namun, pesanan baru datang 2-3 hari kemudian. Warga yang memerlukan air banyak menanggung sendiri pengeluaran itu. Yang lain membeli secara kolektif.
Kebutuhan air setiap orang minimal 50 liter per hari. Satu keluarga terdiri atas empat jiwa menghabiskan setidaknya 200-250 liter air per hari. Jika membeli satu truk tangki, itu bertahan 20-25 hari. Sampai hujan turun lagi, kemungkinan satu keluarga perlu membeli air bersih 3-4 kali lagi.
Pembelian air secara mandiri atau kolektif terpaksa ditempuh karena bantuan yang disalurkan provinsi atau kabupaten hanya satu truk berkapasitas 6.000 liter per hari per desa. Jika kebutuhan minimal setiap orang 50 liter, bantuan cuma cukup untuk 120 jiwa. Padahal, suatu desa bisa berpenduduk lebih dari 500 jiwa.
Bantuan air bersih
Kepala Pelaksana BPBD Jatim Subhan Wahyudiono mengatakan, bantuan air bersih dari provinsi bukan utama, melainkan hanya bantuan. Pasokan air bersih bagi warga yang kesulitan air, seperti di Pacitan, Bangkalan, dan Sampang, menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten masing-masing. Bantuan air bersih dari pemprov hanya 6.000 liter per hari per desa.
Pengajar Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS), Amien Widodo, mengatakan, saat ini penanganan kekeringan tak cukup hanya memasok air bersih untuk kebutuhan sehari-hari warga. Penanganannya perlu lebih responsif dengan pembuatan sumur bor dan penyaluran air dari sumber-sumber yang masih ada.
Kekeringan, kata Amien, merupakan ancaman yang akan kembali terjadi pada tahun-tahun mendatang. Untuk itu, sejak sekarang perlu disiapkan mitigasi berupa kebijakan responsif. Daerah yang krisis air perlu diutamakan rehabilitasinya dengan penanaman pohon yang berkemampuan menyimpan air hujan dan mengeluarkannya menjadi mata air. Apalagi, jumlah daerah yang menyatakan status darurat kekeringan di provinsi ini diprediksi bakal bertambah.
BPBD Jatim mencatat, saat ini pemerintah daerah yang sudah menyatakan status siaga darurat kekeringan ada 15 daerah. Subhan berharap pemerintah daerah segera menyatakan status siaga darurat kekeringan bagi daerah yang mengalami kering kritis. Karena, dengan begitu, Pemprov Jatim dapat mengerahkan bantuan penuh terhadap daerah.
Saat ini tercatat daerah yang mengalami kekeringan pada musim kemarau 2019 dari 38 kabupaten/kota di Jatim, sebanyak 24 dari 28 daerah terdampak kekeringan mengalami kekeringan kritis. Itu di antaranya semua kabupaten di Madura (Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep).
Kemudian, kawasan tapal kuda, meliputi Lumajang, Situbondo, Pasuruan, Bondowoso, Banyuwangi, dan Probolinggo. Daerah lainnya adalah Jember, Pasuruan, Jombang, Nganjuk, Pacitan, Ponorogo, Ngawi, dan Madiun. Selanjutnya, Gresik, Lamongan, Bojonegoro, Tuban, Blitar, Tulungagung, dan Trenggalek.
”Mengalami kering kritis karena suplai air kurang dari 10 liter per orang per hari, dan jarak airnya lebih dari 3 kilometer. Itu terjadi di 566 desa di 180 kecamatan yang tersebar di 24 daerah di Jatim,” ungkapnya.