Universitas Jember dan Bappenas Wujudkan Pertanian Inklusi
Universitas Jember bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang mendorong inklusivitas pembangunan pertanian. Hal itu dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat tepi kawasan hutan sekaligus mendorong pelestarian hutan.
Oleh
ANGGER PUTRANTO
·3 menit baca
JEMBER, KOMPAS — Universitas Jember bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang mendorong inklusivitas pembangunan pertanian. Hal itu dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat tepi kawasan hutan sekaligus mendorong pelestarian hutan.
Universitas Jember (Unej) memberdayakan Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo, sebagai Pusat Batik Warna Alam Taman Nasional Meru Betiri (TNMB) melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia, manajemen, permodalan, dan akses pada pasar sekaligus memanfaatkan kekayaan alam TNMB sebagai pewarna alami.
”Ini bukti nyata bahwa Universitas Jember bisa memberi dampak bagi pertanian dan perkebunan yang menjadi unggulan daerah. Upaya membina desa dan masyarakat desa dilakukan agar manfaat perkebunan, pertanian, dan pendidikan dirasakan nyata oleh masyarakat,” ujar Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/ Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro dalam kunjungannya ke Jember, Rabu (31/7/2019).
Ini bukti nyata bahwa Universitas Jember bisa memberi dampak bagi pertanian dan perkebunan yang menjadi unggulan daerah. Upaya membina desa dan masyarakat desa dilakukan agar manfaat perkebunan, pertanian, dan pendidikan dirasakan nyata oleh masyarakat.
Bambang berharap, upaya menjaga kelestarian lingkungan tidak bertabrakan atau menghambat masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Menurut dia, upaya pengembangan pertanian inklusi justru menjadi jembatan agar usaha menjaga kelestarian lingkungan selaras dengan upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Bambang mengapresiasi upaya para peneliti Unej yang membina Desa Wonoasri di pinggir Taman Nasiional Meru Betiri. Sejumlah warga dibina untuk membuat batik dari perwarna alami dengan motif-motif yang berkaitan dengan Taman Nasional Meru Betiri, misalnya jejak macan tutul dan kepak elang yang menggambarkan dua satwa khas TNMB, yaitu macan tutul dan elang.
Berwawasan lingkungan
Rektor Universitas Jember Mohammad Hasan mengatakan, pembangunan pertanian inklusif sesuai dengan visi Unej yang berwawasan lingkungan, bisnis, dan industri pertanian. Unej berupaya terus mendorong inklusivitas pembangunan pertanian.
”Kami memberdayakan Desa Wonoasri, Kecamatan Tempurejo, sebagai Pusat Batik Warna Alam Taman Nasional Meru Betiri melalui peningkatan kapasitas sumber daya manusia, manajemen, permodalan, dan akses pada pasar. Warga kami ajak untuk memanfaatkan kekayaan alam TNMB sebagai pewarna alami,” ujarnya.
Hasan mengatakan, pemberdayaan masyarakat di tepi kawasan hutan tersebut juga mendorong pelestarian hutan. Melalui batik pewarna alami, warga diajak untuk tidak merusak lingkungan karena limbah batik yang berasal dari alam tidak merusak kelestarian lingkungan.
Di Desa Wonoasri saat ini terdapat satu desainer dan tujuh pembatik. Warga yang sebagian besar bermata pencarian sebagai petani kini mendapat kesempatan penghasilan sampingan dari usaha batik pewarna alami.
”Kami menggunakan pohon jolawe untuk menghasilkan warna hijau, pohon jambal untuk menghasilkan warna coklat, dan kesumba untuk warna merah. Sementara untuk warna biru didapat dari pohon indigovera dan daun jati untuk menghasilkan warna krem,” ujar Ketua Kelompok Usaha Bersama Batik Warna Alam Supmini Wardani.
Dari usaha kami, para pembatik bisa mendapat keuntungan bersih Rp 600.000 per bulan. Ini menjadi pemasukan tambahan selain dari pekerjaan utama kami sebagai guru atau petani.
Supmini mengatakan, hasil batik mereka dihargai jauh lebih tinggi dibandingkan dengan batik pewarna kimia. Batik pewarna alam dihargai Rp 425.000 hingga Rp 770.000, sedangkan batik warna kimia dipatok Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per lembar ukuran 230 sentimeter x 115 sentimeter.
”Dari usaha kami, para pembatik bisa mendapat keuntungan bersih Rp 600.000 per bulan. Ini menjadi pemasukan tambahan selain dari pekerjaan utama kami sebagai guru atau petani,” ujarnya.