Sebanyak 16 alat atau sensor getaran gempa akan dipasang di wilayah Sulawesi Tengah pada Oktober-Desember 2019. Sensor tersebut diharapkan dijaga dengan baik agar memperkuat sistem peringatan dini sehingga mengurangi terjadinya korban jiwa dan kerusakan.
Oleh
VIDELIS JEMALI
·4 menit baca
PALU, KOMPAS — Sebanyak 16 alat atau sensor getaran gempa akan dipasang di wilayah Sulawesi Tengah pada Oktober-Desember 2019. Sensor tersebut diharapkan dijaga dengan baik agar memperkuat sistem peringatan dini sehingga mengurangi terjadi korban jiwa dan kerusakan.
Ke-16 sensor tersebut akan dibangun di Kabupaten Donggala sebanyak 6 unit, Morowali (3 unit), Poso (3 unit), Parigi Moutong (2 unit), dan masing-masing 1 unit di Banggai dan Buol.
Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi, dan Geofisika Stasiun Geofisika Balaroa, Kota Palu, Sulteng, Henrik Leopaty menyatakan, rencana sensor tersebut diharapkan beroperasi pada awal 2020.
”Sulteng termasuk yang mendapatkan perhatian dengan jumlah sensor yang cukup banyak dari pengadaan sekitar 200 unit secara nasional. Kami berharap masyarakat betul-betul menjaga karena ini bagian dari sistem untuk informasi mitigasi,” katanya di Palu, Sulteng, Rabu (31/7/2019).
Dari jumlah tersebut, sebanyak tujuh unit berfungsi sebagai sensor miniregional, yang berarti mendeteksi gempa lokal dengan maksimum M 3. Sensor tersebut dikendalikan stasiun lokal, dalam hal ini Stasiun Balaroa, Palu. Sisanya untuk mendeteksi gempa sedaratan Sulawesi yang terhubung dengan sistem Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) yang dikendalikan sistem BMKG Jakarta.
Sulteng termasuk yang mendapatkan perhatian dengan jumlah sensor yang cukup banyak dari pengadaan sekitar 200 unit secara nasional. Kami berharap masyarakat betul-betul menjaga karena ini bagian dari sistem untuk informasi mitigasi.
Pemasangan 16 sensor tersebut menambah sembilan sensor yang sudah ada, antara lain tersebar di Labuan, Kabupaten Donggala, Baluase (Sigi).
Sulteng termasuk salah satu daerah dengan riwayat seismisitas tinggi. Ada dua sesar besar di Sulteng, yakni Sesar Palu-Koro yang terbentang dari Laut Sulawesi membelah Kota Palu hingga ke Teluk Bone, Sulawesi Selatan, dan Sesar Matano yang menjalar dari Sulawesi Tenggara hingga Kabupaten Morowali, Sulteng. Sesar lokal juga cukup banyak yang tersebar di Kabupaten Poso, Banggai, dan Banggai Kepulauan.
Gempa besar Sesar Palu-Koro terakhir terjadi pada 28 September 2018 yang melanda Kabupaten Donggala, Sigi, dan Kota Palu. Gempa disertai tsunami dan likuefaksi. Gempa menyebabkan tak kurang dari 4.000 jiwa meninggal dengan bangunan rusak dan hilang mencapai 80.000 unit.
Masih terkait dengan sensor gempa, pada Mei lalu perangkat sensor gempa di Desa Pombewe, Kecamatan Sigi Biromaru, Sigi, dicuri orang. Perangkat yang hilang adalah sensor boardband, baterai, regulator solar, dan panel solar. Dengan dicurinya perangkat tersebut, praktis sensor tersebut tak berfungsi.
Kepolisian Resor Sigi telah menangkap dua tersangka pencurian pada 23 Juli lalu, satu minggu setelah BMKG Stasiun Geofisika Balaroa melaporkan kasus itu.
Terkait dengan dampak tak berfungsinya alat itu, Kepala Seksi Observasi Bambang Haryono mengatakan, hal itu memengaruhi kecepatan penyampaian informasi kepada masyarakat. Sebelumnya, salah satu alat yang dipasang di Desa Sadaunta, Sigi, rusak karena gempa lalu. Idealnya, untuk skala miniregional (mendeteksi gempa lokal terkuat M 3) tiga sensor berfungsi normal.
Kalau tak sampai jumlah itu, penganalisis membutuhkan tambahan data lain yang biasanya diambil dari sistem Ina-TEWS. Hal itu membutuhkan waktu yang cukup lama. Data Ina-TEWS berada di bawah kendali BMKG Jakarta.
Namun, Bambang tak menyebutkan secara pasti berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melepaskan informasi ke masyarakat. Ia hanya mengonfirmasi lambatnya penyampaian informasi gempa pada 26 Juli lalu yang terjadi di Kota Palu dengan kekuatan M 2,6 dampak dari makin sedikitnya sensor yang berfungsi. Waktu itu BMKG Stasiun Geofisika Balaroa baru menyampaikan informasi gempa 25 menit setelah gempa terjadi.
Terkait dengan perbaikan atau pemasangan ulang sensor yang dicuri, Bambang menyebutkan, hal itu sudah dilaporkan ke BMKG pusat. Untuk saat ini, pihaknya memaksimalkan sensor yang ada.
Bambang menyatakan, pihaknya berharap masyarakat menjaga sensor-sensor tersebut karena sangat penting dalam kaitannya dengan mitigasi bencana. Sensor itu milik semua orang.
Terkait dengan perlunya penjaga khusus di setiap site sensor, Bambang mengatakan, hal itu agak sulit dilakukan. Karena, prinsipnya di sekitar instalasi sensor seminimal mungkin ada gerakan atau getaran yang nongempa.
Menurut pegiat literasi kebencanaan Sulteng, Neni Isnaeni, masalah utamanya minim sosialisasi. Warga di sekitar tidak mendapatkan informasi terkait dengan keberadaan dan kegunaan alat itu. Ia yakin, kalau sosialisasinya jelas, masyarakat akan paham.
Berdasarkan pantauan Kompas, Senin (29/7/2019), tak ada papan informasi terkait dengan sensor tersebut di lokasi pemasangannya. Informasi di pinggir jalan di Desa Pombewe pun tak ada. Banyak warga mengaku baru mengetahui alat yang dibangun di bukit bersemak itu setelah pencurian.