Buleleng dan Karangasem Berstatus Darurat Kekeringan di Bali
Dua kabupaten dari sembilan kabupaten/kota di Bali, yaitu Kabupaten Buleleng dan Karangasem, berstatus darurat siaga kekeringan. Kedua wilayah itu terdata kering atau kurang curah hujan sejak Mei hingga Selasa (23/7/2019).
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
DENPASAR, KOMPAS — Dua kabupaten dari sembilan kabupaten/kota di Bali, Kabupaten Buleleng dan Karangasem, berstatus darurat siaga kekeringan. Kedua wilayah itu terdata kering atau kurang curah hujan sejak Mei hingga Selasa (23/7/2019).
Salah satu pertimbangan status darurat kekeringan ini adalah selama dua bulan terakhir kering dan kurang curah hujan. Stasiun Klimatologi BMKG Jembrana, Bali, memprediksi, kekeringan di Bali masih berlanjut hingga Agustus.
Kepala Stasiun Klimatologi Jembrana Rahmat mengatakan, tiga daerah yang terparah masuk Kabupaten Buleleng. Ketiga wilayah itu adalah Sambirenteng (103 hari), Pucaksari (83 hari), dan Sumber Klampok (82 hari).
”Kedua kabupaten tersebut memang masuk status darurat kekeringan dan masuk catatan atensi di pusat. Fenomena ini berdasarkan data tercatat sejak bulan Mei hingga saat ini dan masih berlangsung hingga lebih dari sebulan ke depan atau lebih dari 60 hari ke depan dari data terakhir per 20 Juli ini,” kata Rahmat.
Selain dua kabupaten tersebut, ada empat kabupaten lain yang termasuk wilayah yang perlu diatensi, yaitu Badung, Klungkung, Bangli, dan Kota Denpasar.
Kedua kabupaten tersebut memang masuk status darurat kekeringan dan masuk catatan atensi di pusat. Fenomena ini berdasarkan data tercatat sejak bulan Mei hingga saat ini dan masih berlangsung hingga lebih dari sebulan ke depan atau lebih dari 60 hari ke depan dari data terakhir per 20 Juli ini.
Indikasi kekeringan ini di Pulau Bali sudah berjalan mulai Mei lalu hingga Selasa ini. Fenomena ini memiliki kemiripan pada tiga tahun terakhir meski dengan perbedaan durasi kekeringan. Namun, secara lokasi, berdasarkan data Stasiun Klimatologi Jembrana, lanjut Rahmat, indikasi ini diprediksi kemungkinan adanya perubahan atmosfer.
Memengaruhi pertanian dan perkebunan
Otomatis potensi kekeringan ini memengaruhi utamanya pertanian dan perkebunan. Sekolah lapang segera dilaksanakan akhir bulan Juli ini. Hal ini merupakan bagian dari upaya mitigasi dan belajar bersama mengenai fenomena alam, seperti perubahan iklim. Sekolah tersebut akan diikuti, di antaranya, petugas penyuluh lapangan untuk pertanian dan perkebunan agar memahami potensi klimatologi yang tengah terjadi atau fenomenanya.
Melalui rilis, Pelaksana Harian Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo menyampaikan, sejumlah kepala daerah menyatakan bahwa wilayahnya berstatus siaga darurat kekeringan.
Wilayah kabupaten/kota yang terdampak kekeringan teridentifikasi berjumlah 75 kabupaten/kota dengan 490 kecamatan dan 1.821 desa. Data BNPB per 22 Juli 2019 ini, kabupaten/kota itu tersebar di Jawa Barat (21 kabupaten), Banten (1), Jawa Tengah (21), DI Yogyakarta (2), Jawa Timur (10), Bali (2), NTT (15), dan NTB (9).
Di Jakarta, BNPB berkoordinasi dengan BMKG menggelar operasi teknologi modifikasi cuaca (TMC). Operasi tersebut akan difokuskan pada penanganan kekeringan dan kegagalan panen di wilayah-wilayah teridentifikasi.
Namun, potensi awan hujan kurang dari 70 persen sehingga belum dapat dilakukan operasi TMC untuk saat ini hingga sepekan ke depan. Wilayah rendah curah hujan, yaitu Sumatera bagian selatan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Pertumbuhan awan dan potensi hujan masih terfokus di Sumatera bagian utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.
Total air bersih yang telah didistribusikan mencapai 7.045.400 liter. Strategi lain yang telah diupayakan antara lain penambahan jumlah mobil tangki, hidran umum, pembuatan sumur bor, dan kampanye hemat air.