Puluhan warga Kota Solo, Jawa Tengah, menyalakan lilin dan berdoa bersama untuk Arswendo Atmowiloto. Arswendo telah melahirkan karya-karya sastra yang menjadi tonggak dari sastra modern Indonesia.
Oleh
ERWIN EDHI PRASETYA
·3 menit baca
SOLO, KOMPAS — Puluhan warga Kota Solo, Jawa Tengah, menyalakan lilin dan berdoa bersama untuk Arswendo Atmowiloto. Arswendo telah melahirkan karya-karya sastra yang menjadi tonggak dari sastra modern Indonesia.
Doa bersama dan penyalaan lilin untuk Arswendo itu diadakan di depan Balai Kota Solo, Jawa Tengah, Sabtu (20/7/2019) malam. Lima foto Arswendo berukuran besar dipasang dan di depan foto itu lilin-lilin dinyalakan. Penulis dan mantan wartawan Kompas itu meninggal karena kanker kandung kemih di Jakarta, Jumat (19/7/2019) pukul 17.38.
”Kita mencatat bahwa dia adalah seorang budayawan, seorang sastrawan dengan karya-karya yang menjadi tonggak dari sastra modern,” kata Ardus M Sawega, kurator Bentara Budaya-Balai Soedjatmoko, Solo di Solo.
Ardus mengatakan, mulai mengenal sosok Arswendo sejak tahun 1970 di Solo. Saat itu, Arswendo telah menjadi penulis merangkap wartawan surat kabar Darmo Kondo. Arswendo kemudian hijrah ke Jakarta dan bekerja untuk majalah Midi yang kemudian berubah menjadi majalah Hai.
”Dia sosok seorang sastrawan yang kreatif yang telah melahirkan berbagai karya,” kata Ardus yang juga pernah bekerja di majalah Hai bersama Arswendo.
Dia sosok seorang sastrawan yang kreatif yang telah melahirkan berbagai karya.
Menurut Ardus, salah satu karya berharga Arswendo adalah Canting. Canting adalah novel dengan setting cerita keluarga bangsawan di Solo yang mengalami perubahan dalam dinamika sosial. Karya ini dinilai sebagai sebuah masterpiece, selain Keluarga Cemara. Tidak hanya melahirkan karya sastra, Arswendo juga aktif dalam perfilman dan pertelevisian dengan menulis naskah skenario.
”Arswendo seperti energi kreatif yang unik, yang tiada duanya yang lahir di Solo, seperti juga para pujangga di masa lalu dari Keraton Surakarta maupun Puro Mangkunegaran,” katanya.
Ardus menilai karya-karya sastra Arswendo memiliki keunikan, segar, dan dinamis. Banyak cerpennya ditulis dengan sangat pendek dan ringkas, tetapi isinya padat dan berbobot.
Menurut Ardus, Arswendo menjadi salah satu ikon sastrawan asal Solo, seperti juga tokoh-tokoh terkemuka di bidang kesusastraan modern asal Solo, di antaranya WS Rendra dan Sapardi Djoko Damono, serta para pujangga masa lalu, seperti Ranggawarsita.
”Karya-karya Arswendo mengesankan kita semua, punya ciri khas, dan itu membekas kepada generasi pembacanya,” ujarnya.
Tayangan drama
Salah satu warga Solo, Yayas Astuti (56), mengaku turut datang mengikuti doa bersama karena merasa kehilangan sosok Arswendo. Yayas mengaku sangat menyukai tayangan drama Keluarga Cemara. Drama ini menggambarkan secara realistis kehidupan sebuah keluarga yang kadang diwarnai konflik, namun dapat diselesaikan secara bijak. “Keluarga Cemara itu ditayangkan saat saya belum menikah. Itu menginspirasi saya,” ujarnya.
Penggagas kegiatan doa bersama untuk Arswendo, Haristanto, mengatakan, kegiatan ini merupakan sebuah penghormatan bagi Arswendo. Arswendo telah banyak memberi sumbangsih positif bagi masyarakat Indonesia melalui karya-karyanya. ”Ini tanda cinta kami kepada Arswendo meskipun tidak kenal secara langsung,” katanya.