Potensi pertanian di Nusa Tenggara Barat belum tergarap ideal. Padahal bersama perkebunan dan perikanan, kontribusi pertanian bisa sangat besar menurunkan angka kemiskinan.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·2 menit baca
MATARAM, KOMPAS-Potensi pertanian di Nusa Tenggara Barat belum tergarap ideal. Padahal bersama perkebunan dan perikanan, kontribusi pertanian bisa sangat besar menurunkan angka kemiskinan.
“Sektor pertanian belum optimal, terutama setahun setelah gempa (Lombok) pertumbuhannya rendah,” kata Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Achris Sarwani usai acara pembukaan Desiminasi Laporan Perekonomian NTB, Senin (15/7/2019) di Mataram. Acara itu bertema "Hilirisasi Komoditas Sektor Utama NTB dalam Mendorong Daya Saing Ekonomi NTB".
Sektor pertanian belum optimal, terutama setahun setelah gempa (Lombok) pertumbuhannya rendah
Menurut Achris, hal itu terlihat dari kuartal I tahun 2019 saat sektor pertanian tumbuh 0,07 persen. Padahal, sebelum gempa pertumbuhannya rata-rata mencapai dua persen setahun. Bahkan, periode 2011-2017, sektor pertanian ini tumbuh di atas lima persen per tahun. Kontribusi sektor pertanian pada pendapatan domestik regional bruto sebesar 23 persen.
Jika kondisi itu tidak menjadi perhatian, Achris khawatir, pertumbuhan ekonomi NTB akan semakin memburuk. Apalagi dewasa ini kondisi perekonomian global yang semakin sulit rentan merambat kepada perekonomian nasional dan daerah seperti NTB.
"Pada akhirnya berdampak pada melambatnya pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan ekonomi masyarakat dan meningkatkan kemiskinan di NTB," kata Achris.
Kondisi itu mulai nampak di NTB. Kepala Bidang Statistik Sosial Badan Pusat Statistik NTB, Arrief Chandra Setiawan menyebutkan, jumlah penduduk miskin di NTB pada Maret 2019 mencapai 736.960 orang (14,56 persen). Jumlah itu naik 340 orang dibanding September 2018. Saat itu, jumlah penduduk miskin sebanyak 735.620 orang (14,63 persen).
Penjabat Sekretaris Daerah NTB Iswandi mengatakan, pemerintah pusat sangat responsif mendorong industrialisasi komoditi unggulan NTB, seperti jagung dan budi daya perikanan. Bahkan, masyarakat merespon kebijakan itu dengan memproduksi industri olahan dari produk pertanian.
“Ini penting untuk diberdayakan dan ditingkatkan agar menjadi skala usaha yang lebih besar sehingga akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat,” ujarnya. Namun, industri itu harus saling berkaitan antara hulu dan hilir. Perlu ada koordinasi dan sinergi dengan Bank Indonesia dan stake holder lain, agar usaha mendapatkan nilai tambah benar-benar terwujud.