Membuat Sendiri Mangkuk Gerabah Banyumulek
Kegiatan Do It Yourself atau Lakukan Sendiri bertajuk Basic Pottery Mini Class diselenggarakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kegiatan itu tidak hanya mengajak masyarakat untuk membuat sendiri, tetapi menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap gerabah sebagai salah satu kerajinan tradisional asal Lombok.
Kegiatan Do It Yourself atau Lakukan Sendiri bertajuk Basic Pottery Mini Class diselenggarakan di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (7/7/2019). Kegiatan itu tidak hanya mengajak masyarakat untuk membuat sendiri, tetapi menumbuhkan rasa cinta mereka terhadap gerabah sebagai salah satu kerajinan tradisional asal Lombok.
Begitu mendapat aba-aba, Dinara El Huda (11) langsung mengambil segumpal tanah liat yang berada di sampingnya. Gadis belia yang tahun ini akan memasuki sekolah menengah pertama itu, kemudian meletakkan tanah liat di atas pelarik atau meja putar dari kayu berbentuk bundar.
Setelah memastikan tanah liat di posisi yang pas pada pelarik, Dinara mengarahkan padangan ke Asriah (30), pelatihnya pagi itu. Asriah yang ditemani Nurul Hiyani (45) adalah pengrajin gerabah asal Banyumulek, Kecamatan Kediri, Lombok Barat, yang merupakan sentra industri gerabah di Pulau Lombok.
Sambil mendengar arahan Asriah yang begitu bersemangat, Dinara, termasuk peserta kelas lain mulai bekerja mulai membentuk gumpalan tanah liat di atas pelarik yang berputar. Dalam sekejap, kedua tangan mereka belepotan.
Di awal, mereka terlihat sedikit gugup dan kaku. Setiap akan membentuk tanah liat, mereka terlebih dahulu melihat ke arah Asriah untuk memastikan tidak ada langkah yang dilewati. “Tenang, nanti saya berkeliling,” kata Asriah, seolah bisa membaca apa yang dipikirkan peserta.
Memang tidak mudah. Terutama bagian akhir yakni memolesnya agar halus. Tetapi tidak apa-apa, saya sangat senang bisa membuat mangkuk gerabah sendiri. Saya mau belajar lagi
Asriah memenuhi janjinya untuk berkeliling. Ia bersama Nurul berbagi tugas mendekati setiap peserta. Dengan ramah, kedua perempuan yang telah puluhan tahun menjadi pengrajin gerabah itu, mengomentari, memperbaiki, dan tak lupa memuji saat peserta menyelesaikan tugas awal yakni membuat bagian dasar mangkuk.
Setelah bagian dasar selesai, peserta diajak untuk menambah tanah liat agar membentuk ukuran mangkuk yang sesuai. Peserta berasal dari berbagai latar belakang, termasuk orang tua dan anak itu, tak banyak berkomentar. Mereka terus mengikuti setiap arahan Asriah dan Nurul.
“Wah ini belum ada bentuknya,” seru Asriah. Peserta yang dikomentari Asriah alih-alih cemberut, justru tertawa terbahak-bahak. Peserta lain juga ikut tertawa. Hal itu membuat kelas semakin cair.
Semakin lama, tangan mereka semakin belepotan. Warna cokelat khas tanah liat terlihat dimana-mana. Misalnya di celemek putih yang dikenakan di dada, meja, hingga mangkuk berisi air untuk mencuci tangan agar tidak lengket ketika memegang tanah liat.
Meski demikian, Dinara dan peserta lain semakin antusias. Apalagi, semakin lama bekerja, semakin terlihat bentuk yang mereka inginkan. “Susah dapat feeling-nya,” kata Eka Roro (36), peserta yang sehari-hari berprofesi sebagai dokter di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gerung, Lombok Barat.
Setelah berjalan satu jam lebih, mangkuk-mangkuk dari tanah liat mulai terlihat di atas meja para peserta. Mereka kemudian diminta untuk memolesnya agar benar-benar halus. Sekali lagi, Asriah dan Nurul berkeliling, termasuk memberi contoh cara membuatnya.
Berhasil membuat satu gerabah, ternyata tak membuat peserta puas. Kepada Asriah dan Nurul, mereka meminta diajarkan membuat bentuk lain. Kedua pengrajin itu tak menolak. Dengan senang hati mengajarkan cara membuat asbak, tempat lilin, hingga celengan.
Meski tampak lelah, namun kepuasan tampak jelas di wajah para peserta. Di bagian akhir, penyelenggara meminta mereka menulis nama atau inisial di mangkuk atau gerabah masing-masing. Mangkuk-mangkuk buatan mereka akan dibawa ke Banyumulek oleh Asriah dan Nurul untuk dibakar. Penyelenggara akan membagikan kembali ke masing-masing peserta untuk dibawa ke rumah.
“Memang tidak mudah. Terutama bagian akhir yakni memolesnya agar halus. Tetapi tidak apa-apa, saya sangat senang bisa membuat mangkuk gerabah sendiri. Saya mau belajar lagi,” kata Dinara.
Lebih menghargai
Basic Pottery Mini Class atau kelas gerabah dasar diselenggarakan oleh Acibara Coffee Creative Hub, salah satu kafe dan ruang bersama (co-working space) di kawasan Jalan Jenderal Sudirman, Mataram. Terbatasnya area, membuat peserta dibatasi hanya belasan orang.
Peserta berasal dari berbagai latar belakang dan usia. Mulai dari ibu rumah tangga, dokter, pekerja swasta, dan lebih banyak lagi anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar hingga SMP. Selain itu, kegiatan ini juga diikuti dua warga asing asal London, Inggris.
Pemilik Acibara Coffee Creative Hub Ibnu Sofyan (25) mengatakan, kelas membuat gerabah merupakan salah satu kegiatan dalam Acibara Talk, kegiatan yang rutin digelar tiap minggu.”Setiap minggu, tema kami berbeda-beda. Ada bisnis, pemasaran, dan sosial. Bulan ini, kami perluas segmen dan lebih ke Do It Yourself,” kata Ibnu.
Menurut Ibnu, mereka memilih gerabah karena ingin memperkenalkan kerajian tradisional itu ke masyarakat, khususnya ke anak-anak. “Selama ini, mungkin mereka hanya tahu gelas atau mangkuk yang sudah jadi. Tetapi tidak cara membuatnya. Jadi, melalui kegiatan ini, kami mengajarka sekaligus membuat mereka lebih menghargai apa yang mereka pakai,” kata Ibnu.
Di samping itu, kata Ibnu, kegiatan tersebut juga untuk menumbuhkan kreativitas.
Setiap minggu, tema kami berbeda-beda. Ada bisnis, pemasaran, dan sosial. Bulan ini, kami perluas segmen dan lebih ke Do It Yourself
“Oleh karena itu, kegiatan DIY memang diarahkan kesana. Kegiatan berikutnya, ada pelatihan melukis. Jadi, peserta akan diajarkan melukis di tas kain yang bisa mereka pakai untuk belanja. Jadi selain seni dapat, mereka juga belajar peduli lingkungan dengan tidak menggunakan plastik,” kata Ibnu.
Baik Asriah maupun Nurul mengaku senang semakin banyak masyarakat yang tertarik pada gerabah. “Ini penting agar kerajinan ini tidak hanya makin dicintai, tetapi juga dihargai. Kami tentu akan sangat senang untuk memberikan pelatihan seperti ini,” kata Asriah.
Menurut Asriah, tidak hanya pada kelas di Acibara, mereka juga makin sering mengisi pelatihan. Baik yang berkunjung ke Banyumulek, (sekitar 9 kilometer selatan Mataram, ibu kota NTB) atau mengundang mereka langsung.
“Paling sering anak sekolah datang ke Banyumulek. Kami juga pernah melatih bapak-bapak tentara dari dalam dan luar negeri yang tengah berkegiatan di Lombok,” kata Asriah tang telah membuat gerabah sejak ia duduk di bangku SD.
Menurut keduanya ketertarikan masyarakat untuk belajar menjadi energi positif bagi masa depan kerajinan gerabah. Apalagi sampai sekarang, kerajinan gerabah masih terus diminati.
“Pesanan terus datang. Memang kemarin sempat gempa, tetapi tidak terlalu berdampak. Pesanan itu tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dikirim luar negeri. Sekali pesanan, jumlahnya bisa sampai puluhan ribu berbagai bentuk dan ukuran,” kata Asriah.
Nurul menambahkan, meski sibuk memenuhi pesanan, namun mereka akan selalu bersedia memberi pelatihan. “Kami sangat terbuka kalau mau datang langsung ke Banyumulek,” kata Nurul.
Berbagai alasan dikemukakan peserta ketika memutuskan mengikuti kelas tersebut. Ada yang sekedar mengobati rasa penasaran, ada juga yang mencari pengalaman baru.
Pesanan terus datang. Memang kemarin sempat gempa, tetapi tidak terlalu berdampak. Pesanan itu tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dikirim luar negeri. Sekali pesanan, jumlahnya bisa sampai puluhan ribu berbagai bentuk dan ukuran
“Awalnya ikut hanya untuk mengobati rasa penasaran. Tetapi jadi pengin belajar lebih dalam lagi. Bahkan rencananya akan ke Banyumulek,” kata Wardah (33), ibu rumah tangga yang mendapat info kelas tersebut dari media sosial.
Sementara menurut Eka Roro, dia memang mulai memperbanyak kegiatan terkait DIY. “Sejak tahun lalu, saya belajar seni. Pertama melukis dan terus sampai sekarang. Saya sampai belajar ke Jakarta, Surabaya, hingga Bali. Nah, berhubung pelatihan gerabah, saya juga tidak mau ketinggalan. Ini pengamalan baru yang menyenangkan,” kata Eka.
Warga asing yang mengikuti kegiatan itu, Ghazal Amini (29) dan Anna Karin (29) juga tak kalah senang. Keduanya mengaku sering ke Banyumulek, tetapi baru berkesempatan membuat gerabah secara langsung. “Ini sangat kreatif dan menarik. Rasanya tidak ingin berhenti membuat. Saya mau belajar bentuk gerabah yang lain,” ujar Ghazal.
Tertarik untuk mencoba membuat gerabah sendiri, bisa langsung ke Banyumulek, Lombok Barat.