Di dinding-dinding ruang pameran Pesta Kesenian Bali ke-41, di Taman Budaya Denpasar, Bali, Rabu, (19/6/2019) terpajang beberapa lukisan kaca dari Sanggar Lukis Kaca Nagasepaha, Kabupaten Buleleng, Bali
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·4 menit baca
Di dinding-dinding ruang pameran Pesta Kesenian Bali ke-41, di Taman Budaya Denpasar, Bali, Rabu, (19/6/2019) terpajang beberapa lukisan kaca dari Sanggar Lukis Kaca Nagasepaha, Kabupaten Buleleng, Bali.
Hingga 13 Juli mendatang, masyarakat dapat menikmati kerajinan lukis kaca warisan dari sang maestro pelukis kaca almarhum Jro Dalang Diah dari Desa Nagasepaha. Lukisan yang digelutinya sejak 1927 itu masih eksis hingga saat ini. Sket hingga karya lukisan unik ini dapat dinikmati serta dibeli di pameran itu.
Jro Dalang Diah-lah yang memperkenalkan seni unik melukis di selembar kaca di Nagasepaha. Tinta china dan tema pewayangan menjadi ciri khasnya.
Hanya saja, ada yang berkembang diluar teknik melukisnya. Tema-tema tak lagi mengenai pewayangan seperti Ramayana atau peperangan Mahabarata. Tema-tema kekinian mulai dari politik, pendidikan, sampai olahraga, lengkap tersaji.
“Basis tokoh tetap dengan pewayangan, hanya saja tokoh itu disesuaikan dengan tema-temanya yang kekinian. Jadi tidak melulu persoalan kalah menang Arjuna dan Kurawa saja,” jelas Ketut Santosa, cucu penerus Jro Dalang Diah yang juga Ketua Sanggar Lukis Kaca Nagasepaha, dengan penuh keramahan, akhir Juni lalu.
Alasannya sederhana, agar lukisan kaca Nagasepaha tak tinggal nama dan kenangan. Juga karena persoalan ekonomi. Kemampuan beradaptasi itu yang membuat lukisan tetap eksis hingga kini.
Menurut Ketut, lukisan tak harus fanatik terjebak pada pakem cerita pewayangan, yang baginya melukis di atas lembaran kaca dengan mata merem (mata terpejam) pun, lukisan Arjuna serta tokoh wayang apa pun sekejap jadi.
Hal ini juga pernah disinggung oleh kurator, pemerhati seni, yang juga Dosen Seni Rupa Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) Singaraja, Bali, Hardiman.
Menurut Hardiman, dalam artikel yang dipaparkannya pada Konferensi dan Festival Internasional Bali Utara, di Undiksha Singaraja (2013), Jro Dalang Diah memiliki sejarah yang khas. Hardiman begitu menghormti karya-karya Jro Dalang Diah yang mampu mengkolaborasikan teknik melukis dengan menggunakan kaca sebagai sarananya. Generasi penerusnya kemudian berani membuat terobosan dalam teknik dan tema yang berkembang.
Paparan ini juga merupakan hasil penelitian Hardiman pada seni lukis kaca Nagasepaha selama tahun 1992-1997. Hardiman
Mulanya, lukisan kaca Nagasepaha memang bertema wayang dari beragam fragmen dan adegan seperti Mahabarata, Ramayana Sutasoma, Arjunawiwaha. Penikmatnya pun hanya kalangan masyarakat desa itu saja.
Bagi warga desa yang mampu secara ekonomi membeli, lukisan kaca menjadi bagian dari kebutuhan spiritual. Lukisan kaca menjadi penanda masyarakat desa pada kemakmuran dan keimanan bertolak pada beningnya lukisan kaca.
Beningnya kaca menjadi simbol pengayatan laku kesenian di Bali. Di Bali, kesenian hampir selalu dipandang dari perspektif yadnya (persembahan suci kepada Tuhan). Berkesenian dilakukan dengan tulus ikhlas, tanpa pamrih, sehingga lakunya pun dijalankan dengan berpuasa.
Pembebasan tema
Lukisan kaca Nagasepaha sempat menurun pamornya. Lukisan justru naik kembali setelah mengusung penampilan tematik yang mengikuti tren situasi ekonomi, sosial serta politik. Teknik lama tetap dipegang, namun pembebasan pembebasan tema justru memajukan Nagasepaha.
Ketut Santosa dengan saudara-saudaranya mulai melakukan pembebasan tema sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Media yang digunakan pun tak hanya lembaran kaca tetapi juga media kaca berupa gelas atau stoples.
Dari puluhan karya yang dipajang dalam pameran itu, sebuah lukisan bertajuk Piala AFF yang dilukis oleh Ketut Samudrawan di tahun 2016 menjadi lukisan termahal yang dijual. Karya Samudrawan ini menggambarkan tokoh pandawa yang menang melawan kurawa dengan latar permainan sepak bola. “Harganya bisa mencapai Rp 6 juta dengan ukuran 90 cm x 60 cm,” ujar Ketut Santosa.
Ketut juga terus menularkan ilmu melukis kaca. Ia mengajar di sebuah sekolah dasar untuk pelajaran ekstrakurikuler dan juga mahasiswa magang.
“Kami memberikan kesempatan kepada anak-anak atau keluarga yang bukan sedarah Jro Dalang Diah belajar. Pelajar, mahasiswa magang juga ikut berpameran. Tentunya tetap melalui kurasi,” kata Ketut sambil menunjukkan beberapa lukisan anak magang tersebut.
Dengan demikian semakin banyak yang akan mempertahankan sanggar serta berpameran, sehingga jiwa dan raga warisan lukis kaca tak lekang jaman. Apalagi lukisan ini terus memiliki tema yang tak hanya adegan Arjuna menang perang.