Mahfud MD: Pemerintah Harus Berjalan seperti Biasa
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M Mahfud MD mengatakan, pemerintah harus berjalan seperti biasa setelah penetapan presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum yang dilakukan pada Minggu (30/6/2019). Jika ada proses politik dalam rangka pembentukan kabinet, menurut dia, silakan dibicarakan baik-baik.
Oleh
DEFRI WERDIONO
·3 menit baca
MALANG, KOMPAS — Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M Mahfud MD mengatakan, pemerintah harus berjalan seperti biasa setelah penetapan presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum yang dilakukan Minggu (30/6/2019). Jika ada proses politik dalam rangka pembentukan kabinet, bisa dibicarakan secara baik-baik.
Mahfud mengatakan hal itu setelah menjadi narasumber pada acara Halalbihalal dan Dialog Kebangsaan Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Rayon Universitas Brawijaya, di Malang, Jawa Timur, Minggu siang. ”Negara harus jalan. Suka atau tidak suka itu yang harus diterima sekarang. Tidak ada pilihan lain,” katanya.
Dengan tema ”KAHMI Menggagas Masa Depan Indonesia (Perspektif Ekonomi, Politik, dan Hukum), selain Mahfud MD, hadir pada kegiatan ini di antaranya Presidium Majelis Nasional KAHMI R Siti Zuhro dan Guru Besar Universitas Brawijaya Munawar. Hadir pula Rektor Universitas Brawijaya Nuhfil Hanani MS.
Menurut Mahfud, penetapan pemenang pemilu presiden sebenarnya prosedural saja. Tidak ada masalah yang sifatnya substansi yang dipertentangkan. Berdasarkan tata hukum di Indonesia, presiden terpilih ditetapkan oleh KPU. Sementara pelantikan atau pengucapan sumpahnya dilakukan di hadapan MPR pada 20 Oktober mendatang.
Bisa rekonsiliasi. Ayo kita berhenti pertentangan politik soal pilpres dan mengedepankan rekonsiliasi ke konstitusi. Saya akan menjadi oposisi, Anda yang memerintah, itu bisa. Bisa juga yang kedua rekonsiliasi, yakni saya akan bergabung denganmu. Jadi, terserah aja.
Adapun mengenai rekonsiliasi, Mahfud mengatakan, yang utama dalam rekonsiliasi adalah kembali ke posisi masing-masing untuk melaksanakan konstitusi. Rekonsiliasi tidak harus masuk ke dalam pemerintahan atau bersatu dalam satu lembaga eksekutif.
Berbagi peran dalam legislatif juga disebut rekonsiliasi. Dalam arti, mereka tidak lagi mempertentangkan hasil pemilu, tetapi bisa memperdebatkan kebijakan.
”Bisa rekonsiliasi. Ayo kita berhenti pertentangan politik soal pilpres dan mengedepankan rekonsiliasi ke konstitusi. Saya akan menjadi oposisi, Anda yang memerintah, itu bisa. Bisa juga yang kedua rekonsiliasi, yakni saya akan bergabung denganmu. Jadi terserah aja,” ujarnya.
Ada keseimbangan
Jika rekonsiliasi bergabung, Mahfud berharap ada keseimbangan terhadap kebijakan pemerintah. Jangan semua partai ikut bergabung. ”Sekarang yang tidak bergabung PKS. PKS belum menyatakan sikap. Tapi, mungkin tidak bergabung. Namun, PKS hanya 8 persen. Masa pengontrol pemerintah hanya 8 persen yang efektif. Kalau menurut saya, perlu ditambah lagi,” katanya.
Biasanya orang yang memilih oposisi, lanjut Mahfud, akan diuntungkan. Dia mencontohkan PDI-P, yang pada 2004-2014 memilih sebagai oposisi total. Tiba-tiba setelah itu PDI-P menang besar dalam pemilu, anggota DPR dari PDI-P juga terbanyak dan jabatan presiden berasal dari kader partai tersebut.
Sementara itu, Siti Zuhro mengatakan, bulan ini KAHMI akan membahas evaluasi Pemilu Serentak 2019 yang dinilai rumit. Pihaknya berharap tahun ini sudah ada rumusan yang melibatkan para pakar di KAHMI, baik hukum tata negara, ekonomi, pemerintahan, maupun politik. Rumusan yang dihasilkan akan diserahkan kepada eksekutif dan legislatif.
”Mereka dikumpulkan, lalu kita memperluas dengan praktisi (politisi dari KAHMI), intelektual, dan penyelenggaranya (juga dari KAHMI). Kita minta diberikan masukan. Lalu ada tim perumus, dari Bawaslu, juga tim pemantau pemilu. Kita dengarkan seluruhnya untuk dievaluasi,” ucapnya.
Menurut Zahro, ada beberapa hal yang perlu dievaluasi. Misalnya soal dampak positif dan negatif pemilu serentak. Bagaimana jika dikembalikan ke acuan sistem presidensial yang memisahkan pemilu presiden dan legislatif.
Mereka dikumpulkan, lalu kita memperluas dengan praktisi (politisi dari KAHMI), intelektual, dan penyelenggaranya (juga dari KAHMI). Kita minta diberikan masukan. Lalu ada tim perumus, dari Bawaslu, juga tim pemantau pemilu. Kita dengarkan seluruhnya untuk coba dievaluasi.
Hal lain tentang bagaimana soal ambang batas apakah cukup di legislatif, tetapi tidak perlu di presiden threshold. Bahkan, termasuk bagaimana membuat partai politik melakukan reformasi sungguh-sungguh di tingkat internal.
Dengan evaluasi, tidak akan stagnan seperti sekarang. ”Kalau orientasi hanya untuk 2024, benar-benar baru akan stagnan seperti sekarang, apalagi jika ada sengketa pemilu,” ujarnya.