Bak batang bambu tersapu angin, tubuh Ni Gusti Ayu Santhi meliuk gemulai. Gerakan badan dan tangan serta ekspresi remaja putri dari Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, itu diikuti dua penari lain di hadapan Santhi.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·4 menit baca
Bak batang bambu tersapu angin, tubuh Ni Gusti Ayu Santhi meliuk gemulai. Gerakan badan dan tangan serta ekspresi remaja putri dari Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, itu diikuti dua penari lain di hadapan Santhi. Ketiganya menarikan tari legong berlakon roman Prabu Lasem dan Dyah Rangkesari yang bersumber dari cerita panji.
Santhi menarikan tokoh condong atau pelayan istana. Sementara dua penari lain, Ni Komang Tisna Damayanti dan I Gusti Ayu Agung Putri Suadnyani, sebagai tokoh panji. Meskipun penokohan mereka berbeda, ketiga penari dari Sanggar Seni Saba Sari, duta kesenian Gianyar, itu kerap menampilkan gerak tari serupa.
Kesesuaian gerak tari dan gamelan yang mengiringi mengundang kekaguman bagi penonton di Kalangan Angsoka, salah satu panggung pertunjukan di kompleks Taman Budaya, Kota Denpasar, Kamis (27/6/2019).
Kamis itu, pengunjung Pesta Kesenian Bali 2019 di Taman Budaya, Kota Denpasar, disuguhi pementasan tari palegongan klasik dari Desa Saba, Gianyar. Penonton dibuat terpukau oleh penampilan seniman-seniman muda dari Sanggar Seni Saba Sari yang diasuh Anak Agung Ngurah Serama Semadi (58), seniman dari Puri Saba, Blahbatuh, Gianyar. Pesta Kesenian Bali merupakan ajang pementasan seni dan budaya yang rutin digelar Pemerintah Provinsi Bali setiap tahun.
Pertunjukan tari palegongan klasik dari Desa Saba dimulai dari penampilan sekeha gamelan yang memainkan karawitan berjudul Sekar Gandotan karya maestro I Wayan Lotring sebagai tabuh petegak (pembuka). Selesai penampilan ensambel itu, pertunjukan dilanjutkan dengan pementasan tari gabor, tari penyambutan yang diciptakan Anak Agung Gede Raka, ayah Serama Semadi.
Santhi dan Tisna serta Putri tampil setelah pementasan tari gabor. Mereka menampilkan tari legong lasem. Lasem adalah satu dari sejumlah ragam tari legong klasik di Bali. Legong lasem mengangkat cerita panji dengan kisah Prabu Lasem yang mengejar cinta Dyah Rangkesari sebelum Prabu Lasem berangkat ke medan perang.
Seusai pementasan tari ini, pertunjukan dilanjutkan penampilan Anak Agung Ngurah Giri Putra (27), putra Serama Semadi, yang menarikan tari jauk manis. Rangkaian pertunjukan tari palegongan klasik dari Desa Saba ditutup dengan pementasan tari legong raja cina.
Rekonstruksi
Serama Semadi menuturkan, tari legong raja cina adalah rekonstruksi dari legong klasik tentang kisah cinta segitiga Raja Sri Jayapangus, Putri Kang Cing We, dan Dewi Danu. Kisah tragedi percintaan itu melatari kesenian tari barong landung di Bali.
Serama Semadi mengungkapkan, bagian pembuka dari gamelan tari legong raja cina diperoleh dari I Wayan Beratha, maestro karawitan dari Banjar Belaluan, Kota Denpasar. ”Ide rekonstruksi tari legong raja cina berawal dari ayah saya, Anak Agung Gede Raka, semasa beliau masih hidup,” ujar Serama Semadi di Taman Budaya, Kamis.
Pementasan tarian itu merupakan pertunjukan paling lama, lebih dari 40 menit. Secara keseluruhan, pertunjukan tari palegongan klasik dari Sanggar Seni Saba Sari itu berlangsung sekitar dua jam.
”Saya sampai pegal karena terus duduk. Pertunjukan tari legong klasik itu memukau,” ujar seorang pengunjung seusai menonton pementasan tari palegongan klasik dari Desa Saba tersebut.
Pengamat seni dan seniman I Wayan Dibia mengatakan, legong adalah ragam tari yang gerakannya diperkirakan bersumber dari tari sanghyang dedari. Legong diduga berasal dari kata leg yang bermakna luwes dan gong yang berarti gamelan.
”Legong adalah seni tari yang mengutamakan olah gerak yang diikat gamelan,” kata Dibia, Kamis. Gerak itu mulai dari gerakan tubuh, mata, tangan, dan kaki, termasuk pemakaian kipas. ”Legong termasuk tari klasik dan memiliki perbendaharaan gerak tari dari tari gambuh yang bersumber dari tari sanghyang dedari,” ujarnya.
Serama Semadi mengatakan, tari palegongan di Desa Saba adalah warisan budaya yang akan mereka lestarikan dan kembangkan. Menurut dia, tari legong lebih dahulu dikembangkan di Puri Paang Sukawati dengan pelatih, di antaranya, Anak Agung Gede Perit dan I Dewa Gede Rai.
”Tetapi, tari palegongan menjadi ikon di Desa Saba, khususnya di Puri Saba, sehingga kami berupaya melestarikan tari klasik itu,” katanya.
Dibia menambahkan, keberadaan sanggar kesenian di desa, termasuk di lingkungan puri atau keraton di Bali, akan menjaga kehidupan seni dan budaya di tengah-tengah masyarakat Bali.