Mahaga Basa, Jadi Gerakan Literasi di Palangkaraya
Komunitas Payung Literasi Palangkaraya menggelar Mahaga Basa, sebuah kegiatan untuk mendorong anak-anak dan pemuda lebih peduli terhadap literasi. Dalam kegiatan ini, ditampilkan tujuh anak dari MTs Negeri 1 Kota Palangkaraya yang membuat lima judul buku kumpulan cerita pendek.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS — Komunitas Payung Literasi Palangkaraya menggelar Mahaga Basa, sebuah kegiatan untuk mendorong anak-anak dan pemuda lebih peduli terhadap literasi. Dalam kegiatan ini, ditampilkan tujuh anak dari MTs Negeri 1 Kota Palangkaraya yang membuat lima judul buku kumpulan cerita pendek.
Mahaga Basa diambil dari bahasa Dayak yang memiliki arti menjaga bahasa. Mahaga Basa merupakan salah satu tajuk kegiatan dari komunitas Payung Literasi Palangkaraya (PLP). Dalam kegiatan tersebut, anak-anak diajak untuk mengutamakan penggunaan bahasa Indonesia, melestarikan bahasa daerah, dan menguasai bahasa asing.
”Tak hanya membaca atau perkenalan buku-buku, tetapi anak-anak juga diajak berkarya,” kata Koordinator PLP Usy Marie di Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (25/6/2019).
Usy menjelaskan, dalam kegiatan Mahaga Basa kali ini, pihaknya bekerja sama dengan beberapa forum literasi dan Balai Bahasa Provinsi Kalteng meluncurkan lima buku karya anak-anak MTs Negeri 1 Kota Palangkaraya.
Mereka antara lain Alif Rahmatullah Lesmana (17) dengan judul buku Pisau Bermata Dua, Dhimas Ari Yudha Pratama (15) dengan judul buku Keranjang Emas, Nur Hikmah (14) dengan judul buku Indahnya Bersyukur, Aprilia Anggraini (15) dengan judul buku Gubuk di Samping Masjid, serta buku From Borneo to Seoul yang dibuat tiga penulis, yakni Shaffa Abidah (14), Annisa Fitria (14), dan Nur Fathonah (14).
Tak hanya membaca atau perkenalan buku-buku, tetapi anak-anak juga diajak berkarya.
Kelima buku itu kemudian diluncurkan dan diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalteng. Tak hanya diluncurkan, beberapa buku dibahas dalam bedah buku bersama narasumber dari beberapa kalangan sastra di Kalteng.
”Ini adalah upaya kami untuk meningkatkan kemampuan literasi, menggerakkan, dan membiasakan kegiatan literasi sebagai suatu kebiasaan,” ucap Usy.
Usy menambahkan, selain mendorong untuk membuat karya, Mahaga Basa juga menjadi ajang buat lokakarya untuk puisi, prosa, teater, musikalisasi puisi, dan film dokumenter.
”Kami jalan dari sekolah-ke sekolah, bahkan beberapa waktu lalu kami ke Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk Mahaga Basa, nanti lokakaryanya disesuaikan dengan kebutuhan peserta,” kata Usy.
Bedah buku
Salah seorang penulis yang dibahas dalam kegiatan bedah buku di Mahaga Basa adalah buku karya Aprilia Anggraini yang berjudul Gubuk di Samping Masjid. Lia, sapaan akrabnya, membuat 11 cerita pendek dalam waktu tiga bulan didampingi oleh guru bahasa Inggris-mya, Isna.
Kami jalan dari sekolah-ke sekolah, bahkan beberapa waktu lalu kami ke Lembaga Pemasyarakatan Anak untuk Mahaga Basa, nanti lokakaryanya disesuaikan dengan kebutuhan peserta.
Nurhadi dari Balai Bahasa Provinsi Kalteng di bidang sastra mengungkapkan, dengan umur yang masih belia, Lia dengan berani memasuki dimensi ruang yang jarang ditempati anak-anak. Kesan pertama saat membaca judulnya, Nurhadi berpikir akan banyak membaca kisah yang berkaitan dengan agama, tetapi ternyata Gubuk di Samping Masjid menyuguhkan cerita yang menyeramkan.
”Ada juga yang judulnya mesin cuci, ternyata bercerita tentang mesin waktu. Penulis, meskipun sedikit gagal, memasukkan logika fisika kuantum dalam tulisannya. Untuk anak umur 14 tahun, ini sesuatu yang luar biasa,” kata Nurhadi.
Nurhadi menjelaskan, kelemahan penulis belia umumnya kekurangan referensi. Seharusnya penulis belia atau penulis muda tidak boleh membatasi atau dibatasi dalam membaca. Itu karena semakin banyak membaca akan semakin dalam dan bermakna isi tulisannya.
”Ini yang perlu didorong terus. Kalau Lia membaca lebih dalam ilmu fisika kuantum atau ilmu pengetahuan lainnya, lalu dimasukkan dalam cerita pendek, itu akan jauh lebih luar biasa,” kata Nurhadi.
Lia mengungkapkan, salah satu referensi ia menulis adalah karena kebiasaan membaca cerita pendek di Kompas Minggu. Ia juga membaca buku-buku novel lainnya.
Ini yang perlu didorong terus. Kalau Lia membaca lebih dalam ilmu fisika kuantum atau ilmu pengetahuan lainnya, lalu dimasukkan dalam cerita pendek, itu akan jauh lebih luar biasa.
Dalam tulisan mesin cuci, Lia mengaku mendapatkan inspirasi saat melihat ibunya mencuci pakaian di bawah sinar matahari. Dari situ muncul satu kalimat dalam tulisannya tentang bagaimana mesin cuci itu melesat melampaui kecepatan cahaya untuk menembus ruang dan waktu. Tambahan kecepatan cahaya dan mesin waktu ia dapatkan dari banyak referensi film fiksi.
”Saya ini kurang baik dalam bergaul, makanya saya mau dikenal orang lewat karya tulis,” kata Lia.