Sedikitnya 117 partisipan telah mendaftar dan menyatakan ikut serta dalam simposium Asia Pacific Geopark Network (APGN) VI yang digelar 29 Agustus-6 September 2019 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pokok bahasan bakal membahas kearifan dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan kelangsungannya bagi kehidupan manusia dikaitkan bencana alam.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·3 menit baca
MATARAM, KOMPAS - Sedikitnya 117 partisipan telah mendaftar dan menyatakan ikut serta dalam simposium Asia Pacific Geopark Network (APGN) VI yang digelar 29 Agustus-6 September 2019 di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Topik utama bakal membahas kearifan dalam upaya melestarikan sumber daya alam dan kelangsungannya bagi kehidupan manusia dikaitkan bencana alam.
Menurut Meliawati, manajer Konservasi Mitigasi Bencana dan Perubahan Iklim Geopark Rinjani Lombok, Senin (10/6/2019) di Mataram, peserta simposium diperkirakan 800 orang. Pendaftaran peserta dibuka secara bertahap: April, Juli dan Agustus. Dari 117 partisipan itu sebanyak 100 partisipan yang mendaftar pada tahap awal, sisanya 17 partisipan mendaftar pada tahap kedua.
“Berdasarkan pengalaman dalam kegiatan sebelumnya, partisipan APGN akan bertambah pada batas waktu pendaftaran 15 Agustus nanti,” ujarnya. Negara yang sudah mendaftar sebagai peserta simposium itu antara lain Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Korea Selatan, Iran, India, Australia, Rusia, Tiongkok dan Kanada.
Dalam simposium yang bertema Unesco Global Geopark untuk keberlanjutan komunitas lokal dan mengurangi risiko bencana, materi yang akan dibicarakan adalah seputar kearifan dalam upaya menjaga pelestarian sumber daya alam dan kelangsungannya bagi kehidupan manusia dikaitkan dengan peristiwa bencana alam. Sedikitnya ada 300 makalah akan dipresentasikan para pembicara. Hingga kini, baru 129 makalah diterima Sekretariat Panitia Simposium APGN di NTB.
Para peserta simposium itu juga disiapkan field trip ke berbagai lokasi di Lombok, kata Budi Kurniawan, manajer Geowisata Geopark Rinjani Lombok. Misalnya Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, yang merupakan jejak gunung api purba (Rinjani purba) di lembah Sembalun, kemudian mengunjungi Desa Gumantar dan Desa Senaru, Lombok Utara.
Di Desa Gumantar para peserta akan menyaksikan konstruksi rumah warga yang menggunakan bahan lokal seperti kayu dan bambu. “Saat gempa Lombok Juli-Agustus 2018, rumah-rumah warga Desa selamat dari goyangan gempa,” tutur Budi.
Saat gempa Lombok Juli-Agustus 2018, rumah-rumah warga Desa selamat dari goyangan gempa.
Peserta juga akan mengunjungi Kemalik, Desa Lingsar, Lombok Barat, yang merupakan sumber mata air yang tidak pernah kering sepanjang tahun. Kemalik yang lokasinya berdekatan dengan Pura Lingsar, tetap dijaga kelestariannya oleh warga yang Bergama Islam dan Hindu. Setiap tahun di lokasi itu digelar tradisi Lebaran Topat (ketupat). Secara geologis, air Kemalik itu merupakan akuifer yang terbentuk ribuan tahun silam saat terjadi letusan Gunung Rinjani, kemudian air itu keluar di lokasi Kemalik.
Peserta juga diberi pilihan mengunjungi air terjun Benang Setukel dan Benang Kelambu. Air terjun Benang Setukel berada di atas Air Terjun Kelambu. Air terjun Benang Setukel berasal dari air permukaan yang keluar dari sela-sela semak-belukar mirip deretan segumpal (setukel) benang.
Adapun air terjun Benang Kelambu keluar dari celah batuan dan jatuh melalui dedaunan semak belukar yang dari kejauhan nampak seperti tirai atau kelambu. Konon air terjun Benang Kelambu sebagai tempat mandi Dewi Anjani, tokoh imajiner penjaga Gunung Rinjani. Kedua air terjun itu merupakan jejak letusan Gunung Samalas (Rinjani Tua).
Saat ini, Panitia APGN NTB masih menunggu pengiriman abstraksi makalah, juga mengharapkan keterlibatan relawan (60-100 orang) dan penerjemah (50 orang). “Kami sudah dua kali memberikan pembekalan kepada penerjemah,” tutur Budi. Di acara penutupan, Unesco Global Geopark Council meresmikan Rinjani Geopark sebagai anggota Unesco Global Geopark Netework.