”Sebulan, kami membutuhkan 30 kilogram beras untuk makan,” ujar Ermiyati. Dengan harga beras Rp 11.000, setidaknya ia mengeluarkan biaya Rp 330.000. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan biaya listrik sekitar Rp 120.000 per bulan.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
Di sejumlah desa di Kabupaten Indramayu dan Cirebon, Jawa Barat, masyarakat membagikan zakat fitrah dari pintu ke pintu. Mereka mengantar kasih dalam sebungkus beras.
Takbir berkumandang di Desa Singaraja, Indramayu, Jawa Barat, malam itu, Selasa (4/6/2019). Tangan Disya Rilian Putri (14) menggenggam beberapa kantong plastik berisi beras dengan ukuran di bawah 1 kilogram hingga lebih dari 2 kilogram.
Beras tersebut merupakan zakat fitrah keluarganya. Disya mengantar beras itu kepada tetangganya, yang juga masih kerabatnya. Penerimanya seperti tetangga yang janda, penduduk lansia, dan warga di bawah garis kemiskinan.
Saat sampai di tempat tujuan, Disya menyebutkan, zakat itu berasal dari keluarganya. Setelah berterima kasih, si tetangga masuk ke dapur dan keluar dengan sekantong plastik berisi beras. ”Ini untuk mama di rumah, ya,” ucap si tetangga.
Disya merupakan anak yatim sehingga ia juga mendapatkan zakat. Bapaknya, almarhum Waryadi, telah berpulang pada 2013. Sejak itu, ibunya, Ermiyati (52), menjadi orangtua tunggal untuk enam anaknya. Empat kakak Disya telah menikah.
Dari mengantarkan zakat selama beberapa tahun terakhir, Disya belajar tentang indahnya saling memberi. ”Padahal, ada yang kekurangan, tetapi masih ngasih beras. Saya juga dikasih uang. Kalau dikumpulkan, sekitar Rp 50.000,” ujar siswi sekolah menengah pertama di Indramayu itu.
Padahal, ada yang kekurangan, tetapi masih ngasih beras. Saya juga dikasih uang. Kalau dikumpulkan, sekitar Rp 50.000.
Imam Baehaqi (27), warga Plered, Kabupaten Cirebon, mengatakan, tradisi mengantarkan zakat dari rumah ke rumah masih lestari di desa-desa. ”Di pusat Kota Cirebon, zakatnya sudah banyak berupa uang dan diberikan kepada pengurus masjid,” ucapnya.
Padahal, menurut dia, sejak dulu, mengantarkan zakat dari rumah ke rumah sudah menjadi tradisi. ”Kalau begini, kan, kita bisa bersilaturahmi. Saya masih mengantar zakat meskipun sudah bukan anak-anak lagi,” ujar karyawan swasta itu.
”Kami masih menyalurkan zakat ke pengurus masjid. Tetapi, lebih banyak yang diantarkan langsung ke tetangga dan kerabat. Kan, bisa tahu, zakatnya sampai atau tidak kepada yang membutuhkan. Dari dulu juga begini,” ujar Ermiyati.
Zakat fitrah merupakan kewajiban bagi umat Islam yang berkemampuan sesuai ketentuan dan diberikan kepada fakir miskin. Zakat fitrah berupa beras sebanyak 2,5 kilogram per jiwa atau uang yang senilai jumlah beras tersebut. Zakat fitrah dibayarkan sebelum waktunya shalat Id, terutama pada malam takbiran.
Ukuran kati
Di Singaraja, warga masih menggunakan ukuran kati, batok kelapa, untuk berzakat. Satu kati beras sama dengan 0,6 kilogram beras. Zakat fitrah satu orang sama dengan 5 kati. ”Saya zakat 20 kati (sekitar 12 kilogram) untuk empat orang. Satu kilogram beras harganya Rp 11.000,” ujar Ermiyati.
Tidak cukup sejam, beras yang disimpan di dalam wadah baskom itu habis dibagi-bagikan kepada tetangga. Ada juga yang diberikan kepada rombongan obrog. Obrog merupakan sekumpulan anak muda yang membangunkan warga untuk sahur, menggunakan alat musik tertentu, seperti gendang. Kini, obrog juga kerap menggunakan pengeras suara.
Saya zakat 20 kati (sekitar 12 kilogram) untuk empat orang. Satu kilogram beras harganya Rp 11.000.
Kurang dari sejam pula, baskom Ermiyati yang kosong telah terisi beras kembali. Isinya, sekitar 10 kilogram, hampir sama dengan beras yang ia keluarkan untuk zakat. Baginya, jumlah itu cukup banyak.
”Sebulan, kami membutuhkan 30 kilogram beras untuk makan,” ujarnya. Dengan harga beras Rp 11.000, setidaknya ia mengeluarkan biaya Rp 330.000. Jumlah ini lebih besar dibandingkan dengan biaya listrik sekitar Rp 120.000 per bulan.
Meskipun menjadi daerah dengan sawah terluas 114.000 hektar untuk ukuran kabupaten/kota, masyarakat Indramayu belum sepenuhnya sejahtera. Padahal, dalam setahun, Indramayu mampu memproduksi hingga 1,7 juta ton gabah.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2017, persentase penduduk miskin di Indramayu mencapai 13,67 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata persentase kemiskinan di Jabar, yakni 8,71 persen. Itu sebabnya, membeli beras bukan perkara mudah bagi warga Indramayu, khususnya di desa.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia Jabar bahkan mencatat, selama 2014-2017, beras menjadi penyumbang inflasi tertinggi setelah tarif listrik dengan andil sampai 1,55 persen. Dalam rentang waktu itu, beras muncul sebagai penyumbang inflasi hingga 32 kali. Artinya, pengeluaran terbesar masyarakat di Jabar, termasuk Indramayu, antara lain dihabiskan untuk membeli beras.
Tradisi mengantarkan zakat berupa beras dari rumah ke rumah di Indramayu dan Cirebon tidak hanya membantu warga memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi juga mengajarkan bahwa berbagi dalam kondisi minim pun dapat dilakukan.
Melalui sebungkus beras, mereka mengantarkan kasih. Setelah semalaman saling berbagi beras, warga Muslim di Desa Singaraja menunaikan shalat Idul Fitri dan kembali berkunjung satu sama lain sembari mengucap, ”mohon maaf lahir batin”.