Selama Mei 2019, Pos Pemantauan Gunung Agung Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, mencatat Gunung Agung erupsi sebanyak empat kali (12 Mei, 18 Mei, 24 Mei, dan 31 Mei). Frekuensi erupsi semakin sering semenjak Maret 2019, berdasarkan catatan hampir setiap enam hari. Masyarakat lingkar gunung semakin siap siaga dan waspada, di antaranya dengan menyiapkan masker jika terjadi hujan abu.
Oleh
AYU SULISTYOWATI
·3 menit baca
KARANGASEM, KOMPAS — Selama Mei 2019, Pos Pemantauan Gunung Agung, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, mencatat Gunung Agung erupsi sebanyak empat kali (12 Mei, 18 Mei, 24 Mei, dan 31 Mei).
Frekuensi erupsi semakin sering semenjak Maret 2019, berdasarkan catatan hampir setiap enam hari. Masyarakat di lingkar gunung semakin siap siaga dan waspada, di antaranya menyiapkan masker jika terjadi hujan abu.
Saat erupsi terakhir di bulan Mei, yakni pada Jumat (31/5/2019), petugas pos menginformasikan kolom abu terbentuk setinggi sekitar 2.000 meter dari puncak kawah. Durasi letusan terhitung 8 menit 4 detik pada pukul 11.42 Wita. Abu vulkanik menghujani sebagian besar Pulau Bali, tetapi tidak sampai mengganggu aktivitas penerbangan di Bandara Internasional Ngurah Rai, Kabupaten Badung, sekitar 80 kilometer arah selatan Gunung Agung.
Penyidik Bumi Muda PVMBG yang juga penanggung jawab gunung api Bali dan Nusa Tenggara Barat, Oktory Prambada, di Karangasem, Sabtu (1/6), menjelaskan, belakangan ini terjadi beberapa kali gerakan magma di dalam tubuh Gunung Agung. Ini menjadikan Gunung Agung semakin sering erupsi dan beberapa kali mengeluarkan lava pijar.
”Aktivitas overpressure di kedalaman dangkal mempunyai kompensasi aktivitas di kawah pada saat ini dan ke depan (selama tidak ada suplai magma yang signifikan) adalah pelepasan energi sisa dari suplai magma beberapa bulan lalu yang dapat berupa erupsi atau embusan atau vulkanik dangkal yang lebih frekuen dan lebih intensif,” tutur Oktory.
Namun, lanjutnya, tidak ada prediksi Gunung Agung erupsi secara berkala enam harian. Hanya selama ada pasokan magma yang berada di kedalaman sekitar 4 kilometer dari puncak kawah, potensi erupsi masih ada.
Berdasarkan aktifnya Gunung Agung, pasokan magma cukup besar yang terjadi di pertengahan tahun 2017. Setelah gempa gempa vulkanik berjumlah ribuan ketika itu, hal itu menjadiakan manivestasi berupa sumbat lava baru. Selanjutnya, akhir November 2017 pun terjadi erupsi berturut-turut selama tiga hari.
Aktivitas overpressure di kedalaman dangkal mempunyai kompensasi aktivitas di kawah pada saat ini dan ke depan (selama tidak ada suplai magma yang signifikan) adalah pelepasan energi sisa dari suplai magma beberapa bulan lalu yang dapat berupa erupsi atau embusan atau vulkanik dangkal yang lebih frekuen dan lebih intensif.
Pada 2018, proses pasokan magma ke dapur magma memerlukan waktu dan selama pengisian belum ada magma baru yang berada dikantong magma (kedalaman dangkal) sehingga frekuensi erupsi selama tahun itu tidak teralu rapat. Itu akibat terbatasnya aktivitas magma di kedalaman dangkal. Status Siaga ditetapkan mulai 10 Februari 2018 hingga Sabtu ini dengan 4 kilometer radius bahaya.
Memasuki 2019, pasokan magma lebih aktif. Erupsi tiga bulan terakhir, bulan Maret-Mei tercatat berjumlah 14 kali dengan tinggi kolom abu tertinggi 3.000 meter dari puncak kawah.
Sekretaris Pasemetonan Jagabaya (Pasebaya) Agung Wayan Suara mengimbau masyarakat agar tidak panik dan terus mengikuti informasi serta rekomendasi dari PVMBG, BPBD, dan BNPB.
Ia bersama kepala desa di 28 desa terdampak secara swadaya mengedukasi warga untuk waspada dan siaga, terutama menyiapkan masker dalam jumlah cukup di rumah masing-masing. Mereka pun saling memantau dan berbagi info hingga visual gunung setiap saat, terutama ketika erupsi.