Temuan makanan dengan kandungan zat berbahaya cenderung menurun di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, masyarakat harus tetap waspada karena makanan yang membahayakan kesehatan manusia itu masih beredar di pasaran. Bahan berbahaya yang terkandung dalam makanan itu juga semakin sulit diketahui secara kasat mata.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Temuan makanan dengan kandungan zat berbahaya cenderung menurun di Daerah Istimewa Yogyakarta. Namun, masyarakat harus tetap waspada karena makanan yang membahayakan kesehatan manusia itu masih beredar di pasaran. Bahan berbahaya yang terkandung dalam makanan itu juga semakin sulit diketahui secara kasat mata.
“Dari awal Mei, atau saat mulai Ramadan, hingga sekarang, penurunannya itu dari 19 persen menjadi 14 persen. Itu didapat dari 130 sampel di beberapa pasar. Ini patut kita syukuri,” kata Kepala Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) Yogyakarta Rustyawati, di Pasar Beringharjo, Yogyakarta, Jumat (17/5/2019).
Adapun jenis dari zat berbahaya yang ditemukan pada makanan, yakni, rhodamin b, formalin, dan boraks. Makanan yang mengandung zat berbahaya tersebut terdiri dari kerupuk, legendar, teri asin, cumi, dan mi basah.
Rustyawati mengungkapkan, rhodamin b itu biasa terkandung dalam kerupuk yang berwarna merah muda dan mencolok. Tetapi, saat ini, warna itu bukan satu-satunya indikator kandungan zat tersebut dalam makanan. Muncul dugaan, adanya upaya pencampuran zat itu dengan pewarna lain guna menghasilkan warna yang berbeda.
Hal itu didapati di Pasar Argosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ada satu pedagang yang menjual kerupuk berwarna oranye kecoklatan. Semula, kerupuk itu tak dicurigai. Kandungan Rhodamin B baru diketahui setelah diperiksa.
“Jadi selama ini, setiap menemukan kerupuk berwarna merah muda selalu kami periksa. Namun, temuan terakhir itu tidak kami duga. Kemungkinan besar pelaku usaha mengkamuflasi rhodamin b dengan bahan lain agar tidak berwarna merah muda,” kata Rustyawati.
Rustyawati menambahkan, teri asin juga menjadi persoalan yang harus diperhatikan secara serius. Hampir setiap temuan teri asin itu mengandung formalin. Di Kabupaten Gunung Kidul, pemasoknya berasal dari, Solo, Jawa Tengah. Sementara itu, di Kabupaten Bantul, menurut pengakuan pedagang, pemasoknya dari Pasar Beringharjo, Kota Yogyakarta.
Jadi selama ini, setiap menemukan kerupuk berwarna merah muda selalu kami periksa. Namun, temuan terakhir itu tidak kami duga. Kemungkinan besar pelaku usaha mengkamuflasi rhodamin b dengan bahan lain agar tidak berwarna merah muda
“Cuma ketika diperiksa di Pasar Beringharjo, hasilnya negatif formalin. Tetapi, ada 2 toko yang belum buka. Kami tidak tahu itu belum buka karena ada pantauan TPID DIY atau hal lain. Kami akan pantau ini dalam beberapa hari ke depan untuk menjawab ini,” kata Rustyawati.
Makanan lainnya yang mengandung zat berbahaya itu juga sebagian berasal dari Jawa Tengah, seperti Purworejo, Solo, dan Magelang. Oleh karena itu, Rustyawati menyatakan, pihaknya juga menjalin koordinasi dengan BBPOM Jawa Tengah untuk mengungkap peredaran makanan dengan kandungan zat berbahaya itu.
Tidak membeli
Rustyawati mengatakan, sebenarnya, cara paling efektif untuk menghentikan peredaran makanan dengan kandungan zat berbahaya itu adalah dengan tidak membelinya. Kondisi tersebut membuat pelaku usaha tidak memproduksi dan mengedarkan makanan tersebut mengingat tidak ada pasarnya.
“Kita memang harus tingkatkan pengawasan oleh petugas. Kemudian, masyarakat sendiri harus cerdas dan mampu memilih makanan. Kalau sudah tahu berbahaya, jangan beli lagi. Hukuman paling efektif bagi pelaku usaha itu datang dari masyarakat sendiri,” ujar Rustyawati.
Kepala Subdirektorat Industri dan Perdagangan Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda DIY Ajun Komisaris Besar Andreas Dedi Wijaya mengatakan, pihaknya siap bekerja sama dengan BBPOM Yogyakarta untuk menindaklanjuti kasus peredaran makanan berbahaya yang distributornya berasal dari luar DIY.
Selain itu, Dedi mengatakan, Januari lalu, Polda DIY juga sudah menangkap pedagang yang menjual daging sapi oplosan. Penjual mencampur daging sapi yang dijualnya dengan dagin babi hutan. Kasus itu terus berjalan proses hukumnya dan telah dilimpahkan ke pengadilan.