Ramadhan pada tahun ini dirasakan penuh kesedihan oleh Basse Daeng Banni (50). Buruh tani ini harus melewatkan makan sahur dan berbuka puasa seorang diri. Anak bungsunya, Justina (15), yang sehari-hari menemaninya, meninggal, Senin (29/4/2019), akibat penyakit yang hingga kini belum ditemukan apa jenis atau penyebabnya. Basse adalah orangtua tunggal, dan anaknya yang lain mengadu nasib ke kota lain.
Oleh
RENY SRI AYU
·5 menit baca
Ramadhan pada tahun ini dirasakan penuh kesedihan oleh Basse Daeng Banni (50). Buruh tani ini harus melewatkan makan sahur dan berbuka puasa seorang diri. Anak bungsunya, Justina (15), yang sehari-hari menemaninya, meninggal, Senin (29/4/2019), akibat penyakit yang hingga kini belum ditemukan apa jenis atau penyebabnya. Basse adalah orangtua tunggal, dan anaknya yang lain mengadu nasib ke kota lain.
Masih lekat dalam ingatan Basse, saat itu Kamis (18/4/2019), Justina mendadak panas dan lemas. Suhu tubuhnya di atas 39 derajat celsius. Basse akhirnya membawa Justina ke Puskesmas Buludoang untuk dirawat inap. Bersama Justina, puluhan warga lain saat itu turut dibawa ke puskesmas. Sebagian ke RSUD di Takalar.
Minggu (21/4/2019), Jusnita minta dipulangkan. Dia bersikeras pulang dan berencana ke sekolah keesokan harinya untuk mengikuti ujian nasional bagi pelajar SMP. Melihat tekadnya, ibunya pasrah dan membawa pulang anaknya.
”Tapi, pagi harinya, kondisinya bukan membaik, tapi malah makin buruk. Gurunya datang ke rumah dan minta dia tidak ikut ujian. Mereka membawa ke rumah sakit di Takalar. Dirawat seminggu, panasnya tidak turun dan akhirnya meninggal,” kata Basse.
Justina adalah satu dari empat korban meninggal akibat penyakit yang menyerang warga Dusun Garonggong, Desa Tuju, Jeneponto, Sulawesi Selatan. Hingga kini tercatat lebih dari 90 orang yang terserang penyakit ini.
Awalnya, saat menyerang sejumlah orang pada akhir Maret, penyakit ini belum terdeteksi. Warga menganggap hal itu biasa. Namun, saat puluhan orang dibawa ke puskesmas sehari setelah pemilu digelar, pihak dinas kesehatan mulai turun tangan.
Tapi, pagi harinya, kondisinya bukan membaik, tapi malah makin buruk. Gurunya datang ke rumah dan minta dia tidak ikut ujian. Mereka membawa ke rumah sakit di Takalar. Dirawat seminggu, panasnya tidak turun dan akhirnya meninggal.
Hendri (14) merupakan korban pertama yang meninggal pada Minggu (24/3/2019). Saat itu, keluarga menganggap dia sakit biasa dan membawanya ke RSUD Pajonga Takalar.
Saat itu, petugas rumah sakit mau mengambil sampel darah, tetapi tidak ada darah yang keluar. Sudah dicoba diambil di beberapa titik di lengan, tetapi tetap tidak bisa. Badannya panas di bagian kepala dan pundak, tetapi lengan hingga siku dan kaki hingga lutut dingin.
”Dia juga mengeluh sakit kepala dan mual. Di rumah sakit, jiwanya tidak tertolong,” kata Rahmatiah Daeng Timang (32), bibi Hendri yang mendampingi di rumah sakit.
Saat Siti Hajrah (26), keluarga Hendri, meninggal pada Rabu (24/4/2019), barulah keluarga menyebut tentang Hendri yang meninggal dengan gejala sama. Saat itu, puluhan warga lain sudah keluar masuk puskesmas dan rumah sakit di Takalar dengan gejala sama.
Walaupun umumnya gejala ditandai panas tinggi dan gangguan pencernaan, sebagian mengalami gejala lain. Agus Salim, misalnya, mengaku cegukan selama sepekan sebelum panas menyerang.
Mengungkap penyebab penyakit
Pihak dinas kesehatan kemudian mengambil langkah dengan membentuk tim dan mencari tahu soal serangan penyakit ini. Berbagai tes darah dikakukan untuk menguji beberapa penyakit, tetapi tak mendapatkan hasil. Uji darah di antaranya untuk penyakit tipoid, leptospirosis, demam berdarah, tipes, chikungunya, dan lainnya, tetapi hasilnya negatif.
Tim gabungan akhirnya dibentuk. Tim di antaranya terdiri dari tenaga ahli dinas kesehatan, Puslitbang Kesehatan Unhas, Kementrian Kesehatan, UPTD Kemenkes, Balai Besar Kesehatan, Balai Besar Veteriner, dan Balai Besar Lebaratoium Kesehatan.
Tim turun pada Jumat (10/5/2019) dan mengambil sampel darah sejumlah warga yang telah terserang. Selain itu juga sampel darah sejumlah ternak. Namun, hingga Selasa (14/5/2019) belum ada titik terang tentang penyakit ini.
Tim sempat menduga penyakit disebabkan oleh keracunan makanan. Saat itu, pada Rabu (10/4/2019), Cini Daeng Tontong menggelar pesta. Tim menyebut sebagian yang terserang penyakit adalah warga yang mengonsumsi makanan di pesta tersebut.
Menurut Kepala Puslitbang Kesehatan Unhas Isra Wahid, kemungkinan mereka keracunan makanan, tetapi hal ini belum menjadi kesimpulan akhir. Kendati demikian, masih diteliti.
Sebab dari keterangan yang diperoleh, tim menemukan fakta bahwa sebagian besar yang terserang penyakit sebelumnya makan makanan dari pesta itu. Sebagian membawa pulang makanan dan dikonsumsi di rumah. Keterangan lain bahwa beberapa bulan terakhir terjadi kematian mendadak pada sejumlah hewan ternak, seperti ayam ataupun sapi.
Namun, fakta bahwa sudah ada warga yang terserang penyakit jauh sebelum pesta digelar membuat dugaan ini tidak kuat. Sejumlah peternak juga mengatakan bahwa kematian pada ayam masih dalam batas wajar.
”Kalau ayam kepanasan di kandang, sesak, atau karena perubahan cuaca, biasa kalau ada yang mati sampai puluhan ekor,” kata Agus Salim, salah seorang peternak.
Kematian ternak
Pihak Dinas Peternakan Sulsel juga mengaku belum pernah mendapat laporan tentang kematian ternak dalam jumlah besar. Namun, sebagai langkah antisipasi, sampel darah hewan juga diambil.
Di luar dugaan zoonosis, pola hidup warga yang berdampingan dengan kandang ternak sesungguhnya sudah menjadi persoalan sendiri. Di Garonggong, kandang ayam berada di sekeliling rumah warga. Sapi dan ayam kampung serta itik, setiap makan ditempatkan di kolong atau di sekitar rumah. Bahkan kubangan kerbau berada di halaman rumah. Keterbatasan lahan dan kekhawatiran dicuri adalah alasan warga.
Berbagai dugaan dan keraguan muncul karena pemeriksaan sampel darah yang dilakukan memunculkan banyak varian penyakit yang tidak bisa menjadi bukti kuat sebagai faktor paling dominan sebagai pemicu serangan penyakit.
Untuk memperlebar penelitian, tim akhirnya memutuskan mengambil sampel darah seluruh warga dan memeriksa kesehatan mereka secara menyeluruh. Tim ingin mencari tahu kemungkinan adanya penyakit tersembunyi yang selama ini dianggap biasa oleh warga, tetapi harus disikapi secara hati-hati. Oleh karena itu, tak hanya sampel darah, pemeriksaan urin juga dilakukan. Tim juga menggali fakta riwayat penyakit warga.
”Kami berharap pemeriksaan ini akan menghasilkan satu kesimpulan yang cukup kuat yang bisa disimpulkan sebagai pemicu serangan penyakit. Untuk menetapkan suatu penyakit sebagai kejadian kuar biasa, kami harus berhati-hati. Jangan sampai malah menimbulkan kekhawatiran berlebih pada warga,” kata Nurul AR, Kepala Bidang Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit, Dinas Kesehatan Sulsel.
Tak sekadar pengambilan sampel darah, sebanyk 200 perangkap tikus juga dipasang. Berbagai dugaan tentang pemicu penyakit ini berupaya diungkap oleh tim.
Kami berharap pemeriksaan ini akan menghasilkan satu kesimpulan yang cukup kuat yang bisa disimpulkan sebagai pemicu serangan penyakit. Untuk menetapkan suatu penyakit sebagai kejadian kuar biasa, kami harus berhati-hati. Jangan sampai malah menimbulkan kekhawatiran berlebih pada warga.
Sepeti tim, warga juga kini berharap banyak, berbagai upaya yang dilakukan bisa menjawab teka-teki serangan penyakit yang sudah merenggut empat korban di Garonggong.