Sebagian Masyarakat Kota Tegal Tolak ”People Power”
Sepekan jelang pengumuman hasil rekapitulasi Pemilu 2019, masyarakat di Kota Tegal, Jawa Tengah, menyerukan penolakan terhadap tindakan pengerahan massa atau ”people power”. Tindakan pengerahan massa yang belakangan santer terdengar itu dinilai mencederai nilai-nilai demokrasi.
Oleh
KRISTI DWI UTAMI
·3 menit baca
TEGAL, KOMPAS — Sepekan jelang pengumuman hasil rekapitulasi Pemilu 2019, masyarakat di Kota Tegal, Jawa Tengah, menyerukan penolakan terhadap tindakan pengerahan massa atau people power. Tindakan pengerahan massa yang belakangan santer terdengar tersebut dinilai mencederai nilai-nilai demokrasi.
Pengasuh Pondok Pesantren Hidayatul Mustarsidin sekaligus Pembina Pimpinan Cabang Nahdlatul Ulama Kota Tegal M Ibrohim menolak people power. Ia mengimbau masyarakat untuk tidak terpancing dengan rencana aksi tersebut.
”Dengan tegas saya katakan, sejauh ini, Pemilu 2019 berlangsung aman, tertib, transparan, jujur, dan adil. Saya menolak adanya seruanpeople power. Gerakan semacam itu merugikan masyarakat dan berpotensi memecah belah bangsa,” ucap Ibrohim, Rabu (15/5/2019).
Pernyataan serupa disampaikan Ketua Persatuan Umat Kristiani Kota Tegal (Pukat) Budi Siswanto. Ia berharap, semua pihak menghargai proses demokrasi yang sedang berlangsung hingga Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan hasil pemilu pada 22 Mei mendatang.
”Kami menolak dengan tegas segala bentuk dan upaya yang inkonstitusional, termasuk gagasan people power. Kami mengimbau semua pihak untuk menghargai proses demokrasi,” kata Budi.
Pemilu diibaratkan seperti pertandingan sepak bola oleh Wiwoho (49), salah satu warga Kelurahan Kalinyamat Wetan, Kecamatan Tegal Selatan, Kota Tegal. Sementara KPU diibaratkan sebagai wasit yang mengatur jalannya pertandingan.
”Dalam pertandingan harus ada wasit yang mengatur jalannya pertandingan. Kedua tim yang bertanding harus percaya pada wasit,” ujar Wiwoho.
Ia berharap masyarakat memberikan waktu kepada KPU untuk bekerja. Seruan terkait adanya kecurangan dinilai Wiwoho bisa memecah konsentrasi KPU yang sedang bekerja.
”KPU adalah lembaga negara yang sudah teruji bertahun-tahun menyelenggarakan pemilu. Sebagai warga negara, saya percaya KPU akan memberikan seluruh kemampuan terbaiknya dalam proses demokrasi ini,” tutur Wiwoho.
Sementara itu, Fikri Hidayatulah (18), mahasiswa Kota Tegal, berharap, masyarakat berlapang dada menerima hasil pemilu. Menurut dia,
people power tidak perlu dilakukan karena masyarakat yang merasa menemukan kecurangan dalam pemilu bisa melapor ke Badan Pengawas Pemilu dan mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
”Negara ini punya sistem yang sangat memadai. Jika memang ada kecurangan, sebaiknya melapor ke pihak berwenang. Mengerahkan massa itu bukan pilihan yang bijak,” ucap Fikri.
Ia khawatir, pengerahan massa yang ditujukan untuk memperoleh keadilan malah berujung pada kekacauan seperti yang terjadi pada kerusuhan 1998.
Kepala Kepolisian Resor Tegal Kota Ajun Komisaris Besar Siti Rondhija meminta masyarakat Kota Tegal tidak terprovokasi dengan ajakan people power. Sebab, setiap permasalahan dapat diselesaikan melalui mekanisme hukum yang berlaku.
”Masyarakat harus bersabar dan tetap tenang. Jangan terpancing untuk ikut-ikutan bahkan melakukan tindakan anarki yang akan merugikan diri sendiri dan keluarga. Jangan sia-siakan waktu yang seharusnya bisa dipakai untuk mencari nafkah,” tutur Siti.