Ombudsman NTB Duga Ada Maladministrasi Pengiriman Ternak
Tim Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat menemukan dugaan praktek maladministrasi pengiriman ternak sapi bali potong dari Pulau Sumbawa ke Pulau Lombok. Modusnya, memanipulasi berat badan ternak berbobot 200 kilogram.
Oleh
KHAERUL ANWAR
·2 menit baca
MATARAM, KOMPAS-Tim Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Nusa Tenggara Barat menduga ada praktek maladministrasi pengiriman ternak sapi bali potong dari Pulau Sumbawa ke Pulau Lombok. Modusnya, memanipulasi berat badan ternak berbobot 200 kilogram.
“Manipulasi data sapi potong itu diduga sudah dimulai di area holding ground di Bangkong, Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa. Padahal, holding ground ini dibawah pengelolaan Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa," kata Adhar Hakim, Kepala Ombudsman RI Perwakilan NTB, Selasa (7/5/2019) di Mataram, Lombok.
Berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengeluaran Atau Pemasukan Ternak dan Bahan Asal Ternak di Provinsi NTB, ditetapkan berat badan ternak sapi potong yang boleh dikirim antar pulau minimal berbobot 300 kg. Pengaturan pengiriman bobot sapi itu untuk menjaga populasi mengingat Pulau Sumbawa ditetapkan sebagai pusat pengembangan dan perlindungan sapi bali dari penyakit antraks, rabies dan bruselosis.
Akan tetapi, untuk melancarkan arus lalu lintas pengiriman, berdasarkan kesepakatan para pengusaha dengan Gubernur NTB Maret 2019, berat badan ternak sapi dikurangi menjadi minimal 250 kg.
Kenyataannya di lapangan berbeda. Adhar mengatakan, pengiriman sapi potong seberat 200 kg terus terjadi. Misalnya, di Pelabuhan Badas, pengiriman sapi ke Lombok berlangsung dari hari Senin sampai Jumat, dengan 15 truk tiap hari. Dalam sebanyak 15 ekor sapi yang diangkut, biasanya disisipkan sekitar lima anakan sapi seberat 200 kg.
Dari 15 ekor sapi itu, tiga ekor di antaranya yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH) di Lombok Timur. Kemudian tujuh ekor lainnya yang merupakan sapi potong mestinya masuk RPH. Namun, di RPH, sapi dijual oleh pemiliknya ke pembeli yang kemudian diternakkan. Fakta lapangan itu ditemukan periode Maret-April 2019.
Kepala Dinas Peternakan NTB, Budi Septiani, yang dimintai komentarnya, mengatakan sudah melakukan sosialisasi dan inspeksi mendadak langsung ke RPH. Hasilnya bakal dilanjutkan ke Dinas Peternakan Kabupaten Sumbawa, yang menyatakan siap melakukan pengawasan dan pengawalan. Seluruh pengelola RPH pun sepakat menjalankan tugas dan fungsi teknisnya.
“Insya Allah kami sedang mengajukan Peraturan Gubernurnya, sebagai penjabaran Peraturan Daerah nomer 1 tahun 2015 tentang pengendalian pemotongan (sapi) betina produktif,” ungkap Budi.