Pemerintah Provinsi Aceh menggenjot produksi garam dengan cara menerapkan sistem geomembran. Selain meningkatkan produktivitas, metode itu juga mengurangi biaya produksi.
Oleh
ZULKARNAINI
·3 menit baca
KOMPAS/ZULKARNAINI
Abdullah (60) sedang mengumpulkan garam yang diproduksi menggunakan metode geomembran di Desa Lam Ujong, Kecamatan Baitussalam, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, Jumat (23/3/2018). Pengolahan garam menggunakan sistem geomembran dapat meningkatkan hasil produksi dan menekan biaya produksi.
BANDA ACEH, KOMPAS — Pemerintah Provinsi Aceh menggenjot produksi garam dengan cara menerapkan sistem geomembran. Ditargetkan pada 2020 Aceh mampu memenuhi kebutuhan garam sendiri dan pada 2025 menjadi sentra produksi garam untuk seluruh Sumatera.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh Cut Yusminar, di Banda Aceh, Minggu (28/4/2019), mengatakan, sebagai daerah pesisir yang lebih separuh wilayahnya dikelilingi laut, Aceh memiliki potensi besar menjadi sentra produksi garam. Namun, sayangnya, potensi itu belum digarap maksimal.
Saat ini, produksi garam Aceh bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan konsumsi warganya. Produksi garam di Aceh sebanyak 12.000 ton per tahun, sementara konsumsi sebanyak 14.000 ton–16.000 ton per tahun. ”Kekurangan dipasok dari Pulau Jawa,” kata Cut.
Karena itu, pemerintah berupaya menggenjot produksi dengan penerapan inovasi geomembran. Metode geomembran merupakan cara produksi garam menggunakan plastik sebagai alas. Untuk menghindari hujan, bagian atas lahan garam dipasangi atap yang juga berbahan plastik.
Air baku garam kemudian dimasukkan ke dalam kolam beralas plastik itu dan dijemur selama 15 hari. Air yang dijemur akan menghasilkan butiran-butiran garam yang menempel pada plastik.
Metode geomembran telah diterapkan di Aceh Besar, Pidie Jaya, Pidie, Bireuen, dan Aceh Utara. Daerah ini menjadi prioritas pengembangan produksi garam. Kata Cut, hasilnya sangat memuaskan, dari satu geomembran dapat menghasilkan maksimal 1,2 ton garam.
Namun, saat ini jumlah geomembran baru 60 unit. ”Program ini dibantu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), tahun ini kami mengusulkan penambahan geomembran,” kata Cut.
Cut mengatakan, KKP mendorong Aceh menjadi sentra produksi garam untuk Pulau Sumatera. Seiring meningkatnya industri, kebutuhan garam juga akan bertambah. Saat ini, produksi garam di Aceh umumnya masih menggunakan cara tradisional, yakni dimasak. Kata Cut, secara bertahap, petani dilatih metode geomembran.
KOMPAS/ZULKARNAINI
Petani garam Gampong Tanoh Anoe, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Aceh, sedang mengaduk garam yang dimasak dengan pelat besi. Foto diambil pada 2 Desember 2015.
Cut menambahkan, dengan metode geomembran, garam dapat diproduksi secara massal. Perkiraannya, 1 hektar lahan dapat menghasilkan 50 ton garam per tahun. Aceh membutuhkan 200 hektar lahan untuk geomembran. Saat ini baru tersedia 30 hektar.
Metode geomembran dapat meningkatkan hasil minimal produksi garam. Sebagai perbandingan, metode masak menghasilkan 25-50 kilogram (kg) per hari. Artinya, dalam 15 hari, per orang menghasilkan 375-750 kg. Sementara metode geomembran dalam sekali panen (15 hari) dapat menghasilkan 700 kg hingga 1,2 ton per unit.
Keuntungan lainnya, pekerjaan petani lebih ringan. Setelah memasukkan air baku ke dalam geomembran, petani tinggal menunggu masa panen tanpa perlu proses lanjutan. Modal yang dikeluarkan pun hanya pada masa awal pembuatan geomembran, yakni Rp 8 juta per unit.
Sementara pada sistem masak, pekerja harus berada di dapur selama proses memasak. Sistem itu juga membutuhkan kayu bakar yang tidak sedikit, yang berarti tambahan biaya produksi.
KOMPAS/ADRIAN FAJRIANSYAH
Petani garam Zulkarnaini (60) sedang membuat garam tradisional di Gampong Lam Ujung, Kecamatan Baitusalam, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Jumat (26/8/2016).
Ketua Kelompok Tani Garam Lam Ujong, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar, Azhar Idris mengatakan, dalam satu geomembran ukuran 3 meter x 22 meter, mereka menghasilkan 700 kg garam. Dari sembilan unit geomembran yang mereka miliki, sekali panen minimal menghasilkan 6,3 ton.
Dengan harga jual Rp 7.000 per kg, potensi pendapatan kelompok tani itu Rp 44 juta. ”Kelompok kami beranggotakan enam orang. Hasil penjualan dibagi rata, tetapi sebagian kami sisihkan untuk modal produksi selanjutnya,” kata Azhar.
Kepala Seksi Pengembangan Usaha Pesisir Dinas Perikanan dan Kelautan Aceh Afrizal mengatakan, tantangan pengembangan usaha garam di Aceh adalah kesulitan mencari lahan yang luas dalam satu kawasan. Hal itu disebabkan metode geomembran membutuhkan lahan seluas minimal 5 hektar untuk satu lokasi.
Lahan itu digunakan untuk lokasi pembuatan geomembran dan penjemuran air sebagai bibit garam. Namun, Afrizal mengatakan, beberapa kabupaten menyatakan sanggup menyediakan lahan dalam skala luas untuk pengembangan usaha garam rakyat di daerahnya.