Tangkal Hoaks, Ibu Berperan Penting Giatkan Literasi
Ibu dan perempuan didorong terlibat aktif dalam kegiatan literasi. Peranan ibu dinilai dapat meningkatkan kebiasaan membaca dan menularkannya kepada keluarga. Budaya membaca harus diperkuat untuk melawan hoaks atau berita bohong.
Oleh
MELATI MEWANGI
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Para ibu dan perempuan didorong terlibat aktif dalam kegiatan literasi. Peranan ibu dinilai dapat meningkatkan kebiasaan membaca dan menularkannya kepada keluarga. Budaya membaca harus diperkuat untuk melawan hoaks atau berita bohong.
Hal itu mengemuka dalam acara Festival Literasi 2019 bertajuk ”Habis Gelap Terbitlah Terang” di halaman Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (20/4/2019).
Berdasarkan hasil penelitian Central Connecticut State University, Amerika Serikat, yang dirilis Maret 2016, Indonesia menempati posisi peringkat kedua terbawah dari 61 negara dalam tingkat literasi. Indonesia berada satu tingkat di bawah Thailand dan satu tingkat di atas Botswana.
Bunda Literasi Jawa Barat, Atalia Praratya Kamil, menilai, ibu adalah rumah dan guru pertama bagi anak-anaknya di rumah. Semua kebiasaan anak, khususnya kegemaran membaca, tidak serta-merta terbentuk tanpa campur tangan ibu.
Menurut dia, ibu juga berperan dalam menentukan kualitas pendidikan anak-anaknya.
Membangun kebiasaan membaca harus diawali dari keluarga. ”Anak-anak menjadi gemar membaca bukan karena keturunan, tapi karena mereka melihat kebiasaan yang dilakukan orangtuanya,” kata istri dari Gubernur Jawa barat Ridwan Kamil itu.
Masyarakat bisa mengakses buku dan literatur yang disediakan perpustakaan daerah ataupun nasional secara daring (online). Akses mendapatkan buku lebih mudah jika dibandingkan dengan zaman dulu.
Atalia mencontohkan, perjuangan RA Kartini sebagai penggerak literasi hebat di zamannya. Sebagai perempuan dan ibu, Kartini aktif memenuhi rasa ingin tahunya lewat buku. Hasrat membacanya itu ia tularkan juga kepada teman-temannya.
Anak-anak menjadi gemar membaca bukan karena keturunan, tapi karena mereka melihat kebiasaan yang dilakukan orangtuanya.
”Zaman dulu perempuan sulit mengakses literatur, tetapi Ibu RA Kartini berani untuk berkorespondensi dengan sahabat-sahabatnya di luar negeri. Beliau pun sudah membaca buku,” ucap Atalia.
Tangkal hoaks
Rendahnya budaya membaca dan menulis suatu negara berpotensi meningkatkan penyebaran hoaks yang terjadi di negara itu. Menurut Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, masyarakat yang malas membaca akan begitu mudah menyebarkan suatu informasi tanpa mengecek kebenaran informasi itu.
”Banyak berita hoaks muncul karena sebagian besar masyarakat tidak suka membaca secara mendalam. Mereka hanya membaca judul informasi secara sekilas, lalu terbawa emosi dan membagikannya,” katanya.
Ridwan Kamil menyampaikan, jika dibiarkan berlarut-larut, hal itu hanya akan semakin membuang waktu. Ia menyarankan supaya masyarakat lebih bisa memanfaatkan waktu untuk membaca secara mendalam sehingga mendapatkan makna dari bacaan tersebut.
Sementara itu, Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Muhammad Syarif Bando menilai, tingkat literasi atau budaya membaca di Indonesia masih berkutat pada proses pembelajaran dalam membaca ilmu pengetahuan. Padahal, menurut dia, negara maju lain sudah berada pada tahap menciptakan (assembling) karya.
Untuk itu, ia mendorong agar para ibu dan pendidik membimbing anak-anak pada saat membaca. Sebab, tidak hanya sekadar menumbuhkan budaya membaca, tetapi anak-anak juga harus bisa menemukan makna dan suatu pengetahuan dari bacaan tersebut.