Saat Kartini Masa Kini Belajar Mengenal Wastra Nusantara
Raden Ajeng Kartini tak hanya memproduksi dan mengenakan batik sebagai busana keseharian, tetapi juga memperkenalkannya di panggung internasional sebagai bagian dari seni rakyat. Dalam kerangka meneladani sumbangsih Kartini pada negeri, sejumlah perempuan masa kini belajar mengenal corak wastra Nusantara yang sangat kaya serta sarat nilai filosofi itu.
Para perempuan itu memamerkan beragam batik secara bergantian di Hotel Kampi, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (13/4/2019). Layaknya parade mode, perempuan-perempuan dari Komunitas Cinta Berkain Indonesia (KCBI) Surabaya itu berlenggak-lenggok seraya membentangkan kain batik agar tampak jelas corak dan warnanya.
Pada saat yang sama, Ketua Komunitas Batik Jawa Timur (Kibas) Lintu Tulistyantoro menjelaskan tentang corak yang tengah dipamerkan. Penjelasan tentang corak itu pun disertai dengan nilai filosofi hingga implementasi dalam kehidupan sehari-hari. Salah satunya batik motif kangkung setingkes (seikat) khas Banyuwangi, yang kerap dipakai untuk rangkaian acara pernikahan.
”Kangkung seikat memiliki makna pernikahan bukan hanya penyatuan antara seorang lelaki dan perempuan, melainkan dua keluarga besar. Keluarga besar inilah yang disimbolkan dengan kangkung setingkes,” ujar Lintu yang juga dosen Fakultas Seni dan Desain Universitas Kristen Petra, Surabaya, itu.
Kangkung seikat memiliki makna pernikahan bukan hanya penyatuan antara seorang lelaki dan perempuan, melainkan dua keluarga besar. Keluarga besar inilah yang disimbolkan dengan kangkung setingkes
Dalam acara yang digelar untuk memperingati Hari Kartini itu, dipamerkan juga batik dengan motif mahkota raja asal Desa Sekardangan, Kabupaten Sidoarjo. Batik motif ini juga digunakan dalam acara pernikahan. Mahkota merupakan perlambang pemakainya adalah seorang raja. Pengantin yang mengenakan batik motif ini biasanya berasal dari keluarga berstatus ekonomi tinggi.
Motif lain adalah tong centong dari Pamekasan. Centong dalam bahasa Madura ataupun Jawa berarti alat untuk menciduk nasi dari dalam bakul. Batik motif ini digunakan dalam acara pernikahan, yakni menjadi pemberian dari mempelai pria kepada mempelai perempuan.
Narasi dan filosofi
Tak kurang dari 20 motif batik dipamerkan siang itu. Setiap menjelaskan tentang motif batik, Lintu melengkapi narasinya dengan nilai filosofi hingga fungsi atau aplikasinya dalam keseharian. Batik tulis aneka motif itu merupakan koleksi Lintu yang diperoleh dari para pembatik di sejumlah daerah di Jatim.
Dalam khazanah batik Nusantara, Jatim merupakan salah satu provinsi yang memiliki kekayaan motif luar biasa. Bahkan, satu daerah bisa memiliki motif beragam, seperti batik Madura, batik Sidoarjo, dan batik Tuban. Sebab, pembatikan di Jatim tidak terpusat di seputaran keraton, tetapi justru tumbuh dari masyarakat dan dulu tersebar di semua desa.
Di Sidoarjo, misalnya, produsen batik terpusat di sejumlah desa, seperti Desa Jetis, Kelurahan Sekardangan, hingga Desa Tulangan. Sidoarjo juga memiliki artefak kuno berupa perkampungan batik yang berada di tepi Sungai Porong (pecahan Sungai Brantas), tepatnya Desa Kedungcangkring.
Di sela-sela acara yang mengambil tema ”Kartini dan Semangatnya untuk Bangsa Merdeka”, seorang peserta mendekati Lintu dan bertanya tentang motif batik yang dikenakannya. Batik itu dia beli dari pembatik di Tulungagung. Namun, saat membelinya, nama motif dan filosofinya tidak diketahui. Bisa jadi saat itu dia hanya mempertimbangkan kualitas kain dan desain motif.
Salah satu anggota KCBI Surabaya, Eni, mengatakan, dulu dia juga membeli batik hanya berdasarkan rasa suka pada desain motif, warna, atau kualitas kain. Namun, setelah bergabung dengan komunitas dan belajar bersama tentang kain Indonesia, seperti batik, dia pun mulai mengenal ragam motif dan nilai filosofinya.
Reni Dewayani dari Humas KCBI Surabaya mengatakan, kegiatan pengenalan ragam corak wastra Nusantara ini sejalan dengan visi komunitas, yakni memperkuat jati diri perempuan Indonesia di kancah dunia melalui budaya berbusana. Upaya ini sekaligus menjadi bagian dari sosialisasi kepada masyarakat umum tentang wastra Nusantara yang kaya ragam dan mengajak mereka mengaplikasikannya dalam wujud busana sehari-hari.
”Ayo berkain Nusantara karena mengenakannya menjadi bagian dari pelestarian sekaligus promosi budaya. Dengan perkembangan dunia mode kekinian, memakai kain Nusantara bukanlah hal yang sulit, melainkan sebaliknya menjadi lebih mudah, tidak ribet, dan prosesnya pun sederhana,” ujar Reni.
Meneladani Kartini
Upaya mengenal corak batik sejatinya hanyalah bagian kecil dari upaya pelestarian budaya Indonesia berupa wastra (kain tradisional) Nusantara. Bahkan, upaya itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perjuangan Kartini. Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Panggil Aku Kartini Saja, menceritakan, Kartini dan saudarinya membatik sendiri.
Seni batik telah dipelajari sejak berumur 12 tahun atau sejak ia meninggalkan bangku sekolah dan masuk dalam pingitan. Gurunya adalah pekerja tetap di kabupaten bernama Mbok Dullah. Kartini selalu mengenakan batik buatan sendiri saat berkunjung ke tempat atau peristiwa penting.
Menurut Pramoedya, Kartini juga pernah menghadiahkan sarung batik kepada Nyonya Abendanon, istri Direktur Departemen Pengajaran dan Ibadah. Pada saat Kartini berumur 19 tahun atau pada tahun 1898 ada Pameran Nasional untuk Karya Wanita di Den Haag. Dalam pameran itu, ibu suri kerajaan berhenti pada sebuah stan bernama Jawa.
Di sana dipamerkan berbagai contoh kerajinan dan hasil seni rakyat Hindia, di antaranya Jawa. Rupanya ibu suri tertarik pada batik dan memeriksa naskah tentang proses pembuatannya. Naskah berjudul Handchrift Japara itu ditulis dalam bahasa Belanda yang sempurna. Naskah itu diketahui merupakan karya Kartini dari suratnya kepada Estelle Zeehandelar, 6 November 1899.
”Sebuah karangan tentang batik, yang tahun lalu kutulis buat Pameran Karya Wanita, dan sejak itu tak terdengar kabar beritanya, akan diterbitkan di dalam karya standar tentang batik, yang segera akan terbit”.
Raden Ajeng Kartini memang perempuan visioner. Pemikirannya tak hanya mampu menembus tembok pingitan, tetapi mengembara hingga mancanegara dan memberikan pengaruh kuat terhadap pengembangan seni rakyat yang saat itu belum dikenal oleh negara mana pun.
Dalam upaya lebih mengenal sosok Kartini dan meneladaninya, KCBI yang beranggotakan perempuan-perempuan dari berbagai profesi itu juga mengadakan kegiatan membaca surat-surat Kartini. Surat-surat itu dicuplik, antara lain, dari buku tentang Kartini yang berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang dan buku Door Duisternis Tot Licht.
Hanya dengan mengenal sosok Kartini, para perempuan bisa mengerti ide, gagasan, hingga jalan perjuangan yang telah dilakukan. Mereka pun pada akhirnya diharapkan mampu meneladani dengan menciptakan inspirasi baru untuk melanjutkan semangat memajukan bangsa. Membangun optimisme di tengah keterbatasan seperti yang dilakukan Kartini yang dikurung dalam tembok pingitan.
Para perempuan yang notabene adalah Kartini masa kini harus senantiasa mengingat ucapan Raden Ajeng Kartini sebagai pelecut semangat juang. ”Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam.”