Riset Social Movement For Indonesia (Sofi) Institute menunjukkan, sebagian besar anak muda di Kota Cirebon, Jawa Barat, tidak setuju dengan politisasi agama. Hal ini menjadi kabar gembira di tengah rentannya manipulasi isu-isu agama untuk kepentingan politik jelang Pemilu 2019.
Oleh
ABDULLAH FIKRI ASHRI
·4 menit baca
CIREBON, KOMPAS - Riset Social Movement For Indonesia (Sofi) Institute menunjukkan, sebagian besar anak muda di Kota Cirebon, Jawa Barat, tidak setuju dengan politisasi agama. Hal ini menjadi kabar gembira di tengah rentannya manipulasi isu-isu agama untuk kepentingan politik jelang Pemilu 2019.
Hal itu mengemuka dalam laporan hasil riset Pandangan Anak Muda Kota Cirebon Terhadap Isu Demokrasi, Jumat (12/4/2019), di Cirebon. Sofi merupakan organisasi nirlaba berbasis di Cirebon yang fokus pada isu anak muda, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Penelitian itu berlangsung Januari sampai Maret 2019 dengan metode tatap muka menggunakan kuesioner berisi 70 pertanyaan. Responden berjumlah 100 warga Kota Cirebon dengan umur 18-25 tahun dan komposisi laki-laki berbanding perempuan 50 : 50. Narasumber tersebar di 10 sekolah menengah atas, 3 kampus, dan 5 lembaga atau komunitas setempat.
Hasil riset, antara lain, menunjukkan, sebanyak 84,21 persen anak muda di Kota Cirebon menolak penggunaan identitas agama dalam pemilu. Sementara 15,79 responden lainnya setuju.
Data tersebut sejalan dengan hanya 12,63 persen anak muda setempat memilih kandidat pemilu karena kesamaan identitas agama dan suku. Faktor terbesar yang memengaruhi mereka untuk memilih figur pemimpin adalah program kandidat serta visi dan misi kepemimpinan dengan porsi masing-masing 43,16 persen. Selebihnya, memilih karena faktor usia.
Riset itu juga menggambarkan, sebanyak 62,11 persen anak muda Kota Cirebon ingin memilih kandidat dalam pemilu karena kesadaran sendiri. Sementara dorongan memilih dari guru agama atau ustadz hanya 5,26 persen. Selebihnya, mereka terdorong memilih oleh keluarga (16,84 persen), tim kampanye (11,58 persen), dan teman (4,21 persen).
"Ini menunjukkan, apa yang ramai di media sosial tentang pemilu seperti politisasi agama tidak sepenuhnya menggambarkan kondisi anak muda di Kota Cirebon. Bahkan, mereka menolak terpecah karena pemilihan presiden seperti yang marak saat ini," ujar Direktur Eksekutif Sofi Abdurrahman Sandriyanie.
Riset itu juga mencatat, sebanyak 90,32 persen anak muda menilai polarisasi masyarakat antara masing-masing pendukung calon tidak perlu. Hanya 9,68 persen merasa hal itu diperlukan. Namun, sebanyak 89,47 persen anak muda setempat pun menganggap situasi politik Tanah Air sedang tidak sehat atau bermasalah.
Meski demikian, sebagian besar dari mereka atau 81,05 persen menyatakan akan berpartisipasi dalam pemilu 17 April. Komisi Pemilihan Umum Kota Cirebon menargetkan, angka partisipasi masyarakat dalam Pemilu 2018 mencapai 75 persen. Pada Pilkada Kota Cirebon dan Jabar tahun lalu, partisipasi pemilih di Cirebon tercatat 71,9 persen. Sekitar 40 persen merupakan pemilih yang lahir setelah 1980.
Riset ini juga menunjukkan, anak muda tidak terpengaruh dengan masifnya kabar bohong atau hoaks. Sebanyak 67,71 persen anak muda Cirebon memilih tidak merespons hoaks. Bahkan, 26,04 persen membantu mengklarifikasi hoaks yang diterima.
Dosen Filsafat Agama Institut Agama Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon Wakhit Hasim mengatakan, sikap anak muda di Kota Cirebon lebih toleran karena mereka hidup dalam lingkungan yang melestarikan tradisi menghargai perbedaan. "Secara kultural, penduduk Kota Cirebon beragam," ucap Wakhit yang turut hadir.
Selama ratusan tahun, Cirebon dihuni orang Jawa, Sunda, Tionghoa, hingga Arab. Bahkan, sultan Cirebon pertama, Sunan Gunung Jati yang merupakan penyebar agama Islam di Jawa pernah menikahi Putri Ong Tien asal Tiongkok.
Di sisi lain, lanjut Wakhit, akses informasi anak muda Kota Cirebon lebih luas dibandingkan pemuda di kampung. "Sehingga, mereka punya banyak bacaan dan tidak hanya mendengar satu sumber saja, seperti memilih karena kesamaan agama," ujarnya.
Kondisi ini pula, lanjutnya, membuat anak muda di Kota Cirebon lebih peduli terhadap penyebaran hoaks. "Logika hoaks adalah memberi informasi menakutkan dan membahayakan sehingga kalau sudah takut, kita mengikuti informasi itu. Di Indonesia, hoaks bekerja dengan baik karena yang dibidik isu agama, yang notabene paling rentan," ujarnya.
Sikap anak muda di Kota Cirebon lebih toleran karena mereka hidup dalam lingkungan yang melestarikan tradisi menghargai perbedaan.
Siswo Mulyartono, peneliti dari Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, menuturkan, hasil riset tersebut merupakan kabar gembira di tengah munculnya kerawanan politisasi agama dalam pemilu, khususnya di media sosial. Apalagi, hoaks yang tersebar juga mengambil isu agama.
"Selama ini, kita melihat perdebatan yang tidak bermutu tentang pemilu, seperti calon presiden ini jadi imam shalat, sedangkan calon lainnya dipertanyakan shalat Jumat di mana. Sangat jarang perdebatan terkait isu strategis, seperti pengelolaan sumber daya alam atau penegakan HAM," ungkapnya.
Ia mengapresiasi upaya Sofi dalam melihat pandangan anak muda Kota Cirebon terhafap isu demokrasi. Namun, lanjutnya, riset tersebut kurang dijabarkan lebih rinci, seperti mengapa anak muda menolak politisasi agama.