Jembatan Rancamanyar, Jalan Bojong Sayang, Desa Rancamanyar, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, begitu berisik saat lalu lintas di sana macet, Jumat (5/4/2019) pagi. Riuh suara beragam knalpot terdengar kencang di antara sumpah serapah pengemudi yang tak sabar mengantre.
Kondisi jembatan sepanjang 100 meter dan lebar 5 meter itu sungguh semrawut. Ragam emosi campur aduk di sana. Marah, lelah, dan cemas ada di jembatan itu.
Wajah lelah Rina (30), warga Baleendah, seperti mewakili keruwetan itu. Riasan buruh pabrik itu luntur karena keringat mengalir dari balik jilbabnya. Jarum jam di tangannya menunjukkan pukul 08.30. Padahal, jam kerja di salah satu pabrik di Batununggal, Kota Bandung, tempatnya bekerja, dimulai pukul 08.00. Adapun jarak Baleendah ke Batununggal sekitar 10 kilometer.
”Saya sudah berangkat dari rumah sekitar pukul 06.00 agar sampai pukul 08.00 di pabrik. Namun, tetap saja terlambat. Macetnya luar biasa. Sebelumnya, hanya butuh setengah jam dari rumah ke pabrik,” katanya.
Jembatan Rancamanyar bukan jalur yang rutin dilewati Rina. Biasanya, dia mengambil Jalan Raya Dayeuhkolot. Namun, jalan itu tidak bisa dilalui akibat banjir setinggi sekitar 1 meter. ”Mau tidak mau harus lewat sini. Jalan lain justru macet lebih parah. Tidak tahu kalau di sini juga banjir, mau lewat mana,” ujarnya.
Hujan pada Kamis (4/4) memicu banjir hingga 2 meter di Baleendah, Bojongsoang, dan Dayeuhkolot. Sebanyak 37.731 jiwa warga terdampak. Adapun 742 jiwa di antaranya pergi meninggalkan rumah menuju pengungsian.
Naik turun air, pergi pulang pengungsi di Kabupaten Bandung, seperti membolak-balik halaman buku usang. Tahun ini saja sudah empat kali banjir besar terjadi di tempat sama, yaitu pada 15 Januari, 24 Februari, 8 Maret, dan 4 April. Terbesar banjir 8 Maret kala sekitar 67.000 jiwa terdampak banjir. Sekitar 2.000 jiwa mengungsi sepekan.
Meski dilanda banjir cukup tinggi, sebagian warga di sana yang bekerja sebagai buruh nekat menerobos banjir untuk pergi ke tempat kerja. ”Selalu begini kalau musim hujan. Namun, yang saya khawatirkan setiap menerobos banjir adalah listrik. Bulan lalu, ada tetangga meninggal karena tersengat listrik,” kata Tini Sumartini (32), salah seorang buruh yang tinggal di Andir, Kecamatan Baleendah.
Ningsih (37), buruh pabrik lainnya, tidak senekat Tini. Sudah dua hari terakhir, ia tidak masuk kerja karena akses menuju dan di dalam rumahnya terendam banjir. Konsekuensinya jelas, ia kehilangan penghasilan hari itu.
Kalaupun memilih menggunakan angkutan sewa perahu untuk menerobos genangan air, ia harus merogoh kocek Rp 30.000. Padahal, ia hanya dibayar Rp 100.000 per hari.
”Pilihannya sedikit kalau tinggal di daerah banjir seperti ini. Sudah tidak bisa marah lagi, hanya bisa pasrah,” katanya lesu. (Samuel Oktora/Machradin Wahyudi Ritonga)