Acara doa bersama bertajuk “Selametan Puser Bumi, Merawat NKRI Menjaga Indonesia” akan digelar di puncak Gunung Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah, Minggu (24/3/2019).
Oleh
REGINA RUKMORINI
·2 menit baca
MAGELANG, KOMPAS — Acara doa bersama bertajuk ”Selametan Puser Bumi, Merawat NKRI Menjaga Indonesia” akan digelar di puncak Gunung Tidar, Kota Magelang, Jawa Tengah, Minggu (24/3/2019). Acara inisiatif warga ini untuk mendoakan agar kondisi bangsa dapat kembali tenang dan damai serta menjauhkan ketegangan dan konflik di masyarakat.
Menurut rencana, acara ini akan dihadiri sekitar 4.000 orang dengan konsep kenduri. ”Dihadiri oleh masyarakat banyak, maka jadilah ini kenduri Nusantara, kenduri untuk mendoakan negara dan bangsa,” ujar ketua panitia acara, Arianto, Jumat (22/3/2019).
Arianto, yang juga Kepala Desa Jambewangi, Kecamatan Pakis, Kabupaten Magelang, menjelaskan, acara akan dimulai sekitar pukul 14.00 dan berakhir sekitar pukul 17.00. Acara ini terdiri dari doa dan makan bersama secara sederhana.
Acara akan dihadiri warga dari berbagai kalangan, lintas agama, dan golongan. Arianto mengatakan, acara ini dipastikan tidak bermuatan politis dan siapa pun di dalamnya dilarang mengenakan atau membawa atribut ataupun hal lain yang mengandung unsur yang bersifat kampanye.
Melihat apa yang sudah dilakukan di daerah lain, kami pun tergerak untuk melakukan acara yang sama.
Khusus warga Kabupaten Magelang, menurut Arianto, akan membawa 364 tumpeng dan 21 gunungan. Angka 364 tersebut mewakili jumlah desa di Kabupaten Magelang. Adapun 21 gunungan menyimbolkan jumlah kecamatan di kabupaten tersebut.
Selain membawa tumpeng dan gunungan, setiap orang juga diminta untuk menuliskan doa dalam secarik kertas. Kertas doa tersebut nantinya dibakar bersama-sama di akhir acara.
Menurut Arianto, acara ini terlaksana atas inisiatif sebagian warga yang prihatin melihat kondisi bangsa saat ini ketika persaingan di antara dua kubu pasangan calon presiden-wakil presiden menimbulkan ketegangan dan konflik di masyarakat. Situasi inilah yang kemudian dipandang perlu untuk didoakan agar kembali tenang dan damai.
Ide membuat acara ini, menurut Arianto, tercetus setelah melihat daerah-daerah lain di Jateng, seperti Pati, Solo, dan Semarang, melakukan acara serupa. ”Melihat apa yang sudah dilakukan di daerah lain, kami pun tergerak untuk melakukan acara yang sama,” ujarnya.
Arie Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan, doa yang diwujudkan dalam kenduri ini adalah bentuk kontribusi kultural masyarakat dalam kehidupan bangsa.
”Kearifan masyarakat untuk mendoakan bangsa adalah hal yang sangat positif dan sebaiknya didorong untuk terus tumbuh di berbagai tempat, dalam situasi apa pun,” ujarnya.
Ari mengatakan, situasi politik saat ini yang mempersoalkan masalah kalah dan menang pada akhirnya menciutkan nilai dari manusia sebagai pribadi. Segenap manusia dianggap sebagai kumpulan angka dan bukan sebagai kelompok masyarakat berbudaya.
Menyikapi kondisi tersebut, kearifan budaya lokal seperti kenduri, sebaiknya dihidupkan kembali.