Perbaikan tata ruang dan lingkungan hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta dibutuhkan guna meminimalkan daya rusak air saat musim penghujan. Tujuannya, mengurangi dampak buruk bencana suatu hari nanti.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·2 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Perbaikan tata ruang dan lingkungan hidup di Daerah Istimewa Yogyakarta dibutuhkan guna meminimalkan daya rusak air saat musim hujan. Tujuannya, mengurangi dampak buruk bencana suatu hari nanti.
Minggu (17/3/2019), banjir dan longsor mengepung DI Yogyakarta. Selain menerjang permukiman, Makam Raja-raja Imogiri juga digerus tanah longsor. Tanahnya ambles dihajar hujan yang turun seharian.
”Perlu langkah revolusioner untuk mengatasi hal ini. Hujan berdurasi lama selalu menimbulkan bencana. Mungkin, ada inovasi dari sisi tata ruang, pengelolaan infrastruktur fisik, hingga perbaikan lingkungan hidup,” kata Manajer Pusat Pengendalian Operasi Badan Penanggulangan Bencana DI Yogyakarta Danang Syamsu Rizal, di Yogyakarta, Selasa (19/3/2019).
Danang mengungkapkan, tata kelola air permukaan sangat penting untuk meminimalkan banjir. Salah satu solusinya dengan memperbanyak pembuatan resapan air. Harapannya, air hujan tidak langsung terbuang ke sungai, tetapi masuk ke daerah resapan.
”Implementasinya bisa dilakukan dengan membuat gerakan satu rumah satu sumur resapan,” ujar Danang.
Ia menyatakan, perbaikan lingkungan harus dilakukan menyeluruh. Lingkungan, lanjutnya, begitu cepat berubah. Tidak sebanding dengan pertumbuhan populasi dan permukiman yang menutup area resapan air.
”Adaptasi kita kurang cepat dibandingkan pertumbuhan populasi dan perubahan lingkungan,” kata Danang.
Sekretaris Daerah DI Yogyakarta Gatot Saptadi sepakat perbaikan lingkungan itu harus dilakukan. Tujuannya, meminimalkan dampak bencana alam. Namun, pihaknya kini tengah fokus menangani korban.
”Kami sekarang fokus ke penanganan bencana dahulu. Nanti, akan disusun langkah pencegahan itu. Penghijauan harus dilakukan. Saluran pembuangan air juga difungsikan sebagai drainase,” kata Gatot.
Prakirawan Stasiun Klimatologi Mlati Yogyakarta Romadi mengatakan, curah hujan di DI Yogyakarta sekitar 300 millimeter per hari saat bencana terjadi. Penyebabnya adalah siklon Savana di Samudra Hindia.
”Curah hujannya sangat tinggi. Sekarang, siklon itu mulai bergeser menjauhi wilayah Jawa. Harapannya, dampak yang ditimbulkan juga berkurang,” kata Romadi.