Jurnalis Berperan Sebarkan Toleransi dan Perdamaian
Penghormatan pada toleransi dan keberagaman menjadi faktor penting membangun hubungan harmonis antara kebebasan beragama dan berekspresi. Jurnalis dan masyarakat akademik dinilai memiliki peran mempromosikan hal itu.
Oleh
COKORDA YUDISTIRA
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS — Penghormatan kepada toleransi dan keberagaman menjadi faktor penting membangun hubungan harmonis antara kebebasan beragama dan berekspresi. Jurnalis dan masyarakat akademik dinilai memiliki peran mempromosikan hal itu.
Demikian benang merah seminar regional dan lokakarya jurnalis bertema ”Hubungan Antara Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Kebebasan Berekspresi di Asia Tenggara (The Nexus Between Freedom of Religion or Belief and Freedom of Expression in Southeast Asia)” yang dibuka pada hari Senin (18/3/2019).
Seminar ini diselenggarakan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) bersama The International Association of Religion Journalists (IARJ) dan Institute of Peace and Democracy (IPD) Universitas Udayana, Bali, di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali.
Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman M Fachir saat membuka acara ini menyatakan, Indonesia menghormati keberagaman dan menjunjung toleransi. Dalam membina kerja sama dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara melalui ASEAN, menurut Fachir, Indonesia mengedepankan sikap toleran dan penghormatan atas keberagaman.
”Dalam tugasnya, jurnalis turut berperan menyebarkan nilai toleransi dan perdamaian,” kata Fachir.
Duta Besar Perwakilan Khusus untuk Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dari Kerajaan Denmark Michael Suhr menyebutkan, kebebasan beragama dan berekspresi ibarat dua sisi mata uang. Michael menyatakan Indonesia menjadi contoh baik mengembangkan dialog tentang keberagaman dan toleransi.
Menurut Michael, Denmark mendukung penyelenggaraan seminar regional dan lokakarya karena penting untuk menguatkan kapasitas jurnalis meliput dan memberitakan secara obyektif perihal menyangkut agama dan keyakinan berkaitan dengan toleransi dan keberagaman. Michael menyebutkan, jurnalis berperan membangun saling pengertian dalam upaya menumbuhkan kepercayaan.
Menurut Direktur Eksekutif IARJ Endy Bayuni, jurnalis dan masyarakat akademik turut bersama masyarakat membangun ekosistem yang baik untuk mengembangkan perdamaian. Menurut Endy, toleransi dalam keberagaman bukanlah hal yang harus diterima begitu saja (taken for granted), melainkan terus diupayakan untuk tumbuh. ”Kejadian di Selandia Baru menunjukkan kasus kekerasan dan teror dapat terjadi di tempat lain,” ujar Endy.
Dikusi panel
Serangkaian seminar pada hari Senin dilangsungkan pula sesi panel yang membahas tiga topik. Topik itu adalah bangkitnya politik identitas dan ancamannya terhadap kebebasan pers, perjuangan demokrasi di Asia Tenggara, serta agama dan media.
Selain diikuti jurnalis dari perwakilan media di ASEAN, seminar dan sesi panel itu juga diikuti masyarakat akademik, baik mahasiswa maupun dosen. Fachir mengapresiasi penyelenggaraan seminar regional yang melibatkan mahasiswa dan akademisi. Menurut Fachir, kehadiran masyarakat akademik bersama jurnalis dalam seminar tersebut menjadi upaya menumbuhkan pemahaman saat beragam pengalaman dari sejumlah negara dituturkan.
Dalam sesi bertajuk ”Agama dan Media”, perwakilan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Yahya Cholil Staquf menyatakan, jurnalis yang independen dan obyektif dibutuhkan guna memberi pemahaman kepada masyarakat di tengah-tengah hiruk pikuk pemberitaan media sosial.
Wakil Sekretaris Jenderal Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Krise Gosal mengungkapkan, keberagaman bukanlah hal baru bagi masyarakat Indonesia. Namun, menurut dia, Indonesia menghadapi ancaman bertumbuhnya fundamentalisme agama dan radikalisme. Menurut Pendeta Krise, jurnalis berperan menyebarkan pesan perdamaian dalam pemberitaannya.
Hal senada disampaikan Bhikkhu Santacitto. Menurut dia, masyarakat Indonesia yang cinta damai tidak boleh membiarkan sektarianisme tumbuh di masyarakat melalui penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian. ”Jangan karena perbedaan pilihan dalam politik, masyarakat mau dipecah dan diadu saling menyerang pihak lain dengan dasar kebencian,” ujar Santacitto.