Pelaku Gandakan Dokumen Angkut Kayu
JAMBI, KOMPAS — Maraknya pembalakan liar tidak hanya terjadi di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan, tetapi juga di kawasan hutan lainnya. Untuk meloloskan kayu curian, pembalak beroperasi dengan beragam modus, mulai dari menggandakan dokumen hingga memalsukan data pada dokumen angkut kayu.
Kepala Dinas Kehutanan Jambi Ahmad Bestari mengatakan, selama dua bulan terakhir, pihaknya telah mengamankan hampir 100 meter kubik kayu dari tiga kali operasi di Jambi.
Pada salah satu operasi didapati ada pembalak yang menggandakan dokumen penatausahaan kayu untuk beberapa kali pengangkutan. ”Pada operasi lainnya, ada juga pelaku yang menunjukkan dokumen yang tidak sesuai asal kayunya,” katanya, Rabu (13/3/2019).
Pembalakan liar juga cenderung terorganisasi. Kepala Seksi III Balai Penegakan Hukum Wilayah Sumatera Dodi Kurniawan mengatakan, cukong mengupah pembalak lokal untuk mencuri kayu lalu mengirim hasil olahannya ke Kota Jambi, Palembang, Lampung, Banten, dan Jakarta.
Dalam pembalakan, pelaku bekerja sama dengan para pihak, mulai dari kelompok tani hingga pemilik usaha pengolahan kayu guna memenuhi surat keterangan sahnya hasil hutan kayu dan persyaratan pada Sistem Informasi Penatausahaan Usaha Hasil Hutan Online. Satu dokumen digunakan untuk beberapa kali pengangkutan.
Meski dalam dokumen sering kali didapati tanggal pengangkutan tak sesuai, hal itu tidak dinyatakan pelanggaran pidana, tetapi hanya kesalahan administrasi.
Lemahnya pengawasan di lapangan memudahkan kayu-kayu curian lolos sampai di tempat tujuan. Apalagi, saat ini hampir tidak ada lagi petugas kehutanan di pos-pos jaga.
Dodi mengatakan, sebagian besar kasus yang ditangani pihaknya terkait dengan penyalahgunaan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Dokumennya ada sewaktu diperiksa petugas, tetapi jika dilakukan lacak balak, tidak sesuai. Lokasi yang dimaksud dalam dokumen ternyata lahan biasa tanpa potensi tegakan kayu.
Kekurangan personel
Terkait pembalakan liar yang marak, Dodi menyatakan, pihaknya terus berpatroli pada jalur-jalur angkut kayu. Namun, upaya itu belum optimal karena minimnya jumlah pasukan pengamanan hutan di wilayah kerjanya.
Untuk menjaga areal 1 juta hektar hutan negara di luar kawasan taman nasional, hanya ada 90 polisi kehutanan (polhut). Usulan penambahan personel polhut hingga mencapai jumlah 500 orang telah disampaikan, tetapi hingga kini belum dapat dipenuhi.
Kurangnya personel polhut dan minimnya anggaran operasional juga terjadi di Sumsel. Pemprov Sumsel telah meminta pemerintah pusat merekrut polhut dan menambah anggaran operasional agar pengawasan kehutanan dapat ditingkatkan.
Kepala Dinas Kehutanan Sumsel Panji Tjahjanto mengatakan, saat ini hanya ada 84 polhut yang bertugas di 14 Unit Pelaksana Teknis Daerah Kesatuan Pengelolaan Hutan di Sumsel. Dari jumlah itu, 10 orang akan pensiun tahun ini.
Jumlah tersebut tidak sebanding dengan luasan kawasan hutan di Sumsel yang mencapai 3,4 juta hektar. ”Idealnya satu petugas mengawasi 5.000 hektar kawasan hutan. Namun, dengan kondisi saat ini, keberadaan satu petugas untuk 20.000 hektar saja sudah patut disyukuri,” katanya.
Untuk mengisi kekurangan personel itu, sejak dua tahun lalu Pemprov Sumsel merekrut 62 tenaga honorer untuk membantu patroli dan pemadaman kebakaran hutan.
Gubernur Sumsel Herman Deru mengatakan sudah mengajukan usulan kepada pemerintah pusat agar diizinkan merekrut personel polhut. ”Saya berbicara kepada Presiden langsung di depan Menteri KLHK, semoga bisa direalisasikan,” katanya.
Dari segi anggaran, Pemprov Sumsel hanya mengalokasikan Rp 150 juta untuk operasional patroli hutan. Adapun untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi diberikan dana tambahan dari APBD sekitar Rp 75 juta per tahun. Namun, dana tersebut belum cukup karena untuk melakukan patroli dan penanganan kasus pembalakan liar membutuhkan dana yang cukup besar.
Deforestasi di Cycloop
Dari Jayapura, Papua, dilaporkan, masalah deforestasi mengancam Kawasan Cagar Alam Cycloop. Hasil pemantauan Smart Patrol yang dilakukan WWF di Cagar Alam Cycloop dan kawasan penyangga sepanjang tahun 2018, sekitar 30 persen kawasan seluas 31.479,9 hektar itu dalam kondisi kritis.
Direktur WWF-Indonesia Program Papua Benja Mambay, kemarin, mengatakan, terjadi peningkatan deforestasi dari 1.500 hektar pada 2015 menjadi 9.470,9 hektar pada 2018. Deforestasi terjadi karena penebangan hutan, pembukaan ladang, dan pembangunan perumahan penduduk. (RAM/ITA/FLO)