Pendampingan Belum Konsisten, Daya Saing UMKM Rendah
Kendati memiliki potensi besar, pembinaan pengusaha mikro, kecil, dan menengah selama ini tidak konsisten. Pembinaan yang tidak terintegrasi menyebabkan daya saing mereka di semua lini lemah, mulai dari sumber daya manusia, kualitas, hingga kemasan produk.
Oleh
WINARTO HERUSANSONO
·3 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Kendati memiliki potensi besar, pembinaan pengusaha mikro, kecil, dan menengah selama ini tidak konsisten. Pembinaan yang tidak terintegrasi menyebabkan daya saing mereka di semua lini lemah, mulai dari sumber daya manusia, kualitas, hingga kemasan produk.
”Ketika daya saing lemah, akses terhadap lembaga keuangan bagi pengembangan UMKM tidak mudah. Oleh karena itu, tugas kami melakukan pembenahan manajemen usahanya supaya lembaga keuangan percaya memberikan modal usaha,” kata Wahyu Hidayatullah, pemimpin Wilayah Jaminan Kredit Indonesia (Jamkrindo) Kantor Wilayah 5 Semarang, Senin (11/3/2019), dalam diskusi Tumbuh Kembang UKM di Hall Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Universitas Diponegoro Semarang, Jawa Tengah.
Diskusi tersebut juga menghadirkan pembicara Dekan FEB Undip Semarang Suharnomo, Sekretaris Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Jawa Tengah Bima Kartika, dan sejumlah pelaku UMKM.
Wahyu mengatakan, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan UMKM cukup pesat. Pertumbuhan itu seiring banyaknya program pemberdayaan pelaku usaha kecil dari banyak instansi pemerintah daerah. Pemberdayaan itu sangat penting mengingat kondisi mereka serba kekurangan, mulai dari minimnya modal usaha, keterbatasan sumber daya manusia, rendahnya kualitas produk serta kemasan, hingga persaingan dengan produk sejenis.
Ketika daya saing lemah, akses terhadap lembaga keuangan bagi pengembangan UMKM tidak mudah.
Sebagai lembaga penjaminan kredit, Jamkrindo bertugas memfasilitasi pelaku UMKM yang sudah memenuhi standar produk dan kinerja supaya dipercaya lembaga keuangan perbankan ataupun nonbank. Hasil kajian Jamkrindo, mereka masih memerlukan pembenahan manajemen usaha, kualitas produk, dan sumber daya manusia.
Padahal, banyak pelaku UMKM yang telah mendapat pendampingan dari sejumlah instansi pemerintah ataupun nonpemerintah. Namun, ternyata, pembinaan yang dilakukan hanya di tingkat awal. Selanjutnya dibiarkan berjalan sendiri. Kondisi demikian, menurut Wahyu, tidak signifikan meningkatkan kapasitas pelaku UMKM.
Selama dua tahun terakhir, Jamkrindo telah membantu akses permodalan bagi pelaku UMKM sebanyak 574.000 pelaku usaha, dengan jumlah kredit yang dimanfaatkan sebesar Rp 27 triliun.
Sementara itu, menurut Suharnomo, perkembangan industri 4.0 atau generasi keempat perlu ditangkap para pelaku UMKM sebagai peluang besar pengembangan usaha. Kemajuan teknologi internet telah menciptakan dunia kecil yang mempunyai dampak besar. Dengan teknologi, produk dari tempat terpencil akan tetap dicari asalkan dibutuhkan konsumen.
Industri 4.0 itu telah mengubah pola produksi di semua sektor, tidak terkecuali UMKM. Sebelumnya, bisnis pelaku UMKM boleh jadi semakin baik jika kapasitas produksi meningkat. Hal itu tidak bisa terjadi lagi. Kini, penguasaan pasar ditentukan pebisnis yang kreatif, inovatif, dan kompetitif.
”Ceruk pasar sudah terbuka lebar. Namun, tidak bisa hanya dibanjiri dengan produk yang banyak. Ceruk pasar itu akan menyedot keuntungan besar pula jika produk yang dihasilkan sangat menarik, fungsional, dan sangat dibutuhkan. Hal ini menuntut pelaku UMKM melakukan riset meskipun hanya skala kecil guna fokus menghasilkan produk spesifik,” tutur Suharnomo.
Pada 2018, jumlah pelaku UMKM di Jateng tercatat 4,8 juta unit usaha. Jumlah ini belum begitu besar dibandingkan dengan jumlah penduduk. Secara nasional, persentase pelaku bisnis masih 2,8 persen hingga 3 persen dari jumlah penduduk.
Angka ini belum menunjukkan daya saing sektor bisnis. Sebab, semakin besar persentasi pelaku bisnis di sebuah negara, menunjukkan tingkat kesejahteraan yang kian membaik. Persentasi pengusaha di Indonesia bahkan masih kalah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Di Thailand, jumlah pengusaha sudah mencapai 4,5 persen, Malaysia sebesar 5 persen, dan Singapura sekitar 7 persen. Meski demikian, pencapaian persentase pengusaha sebanyak 2,8 persen sudah meningkat karena dua tahun silam masih sekitar 1,6 persen.