Petani dan Pelaku UMKM Ekspor Melibatkan Kerabat
TEMANGGUNG, KOMPAS- Sejumlah petani dan pelaku UMKM di Kabupaten Temanggung, dan Magelang, Jawa Tengah, mengaku masih kesulitan memenuhi permintaan pasar ekspor secara berkesinambungan. Kendalanya, selain mereka tidak bisa melakukan ekspor sendiri, juga belum menemukan mitra di luar negeri yang bisa dipercaya.
Petani dan pelaku UMKM hanya bisa sesekali mengirimkan produk melalui prosedur non formal. Ekspor produk petani dan UMKM hanya mengandalkan jasa dari kerabat atau relasi yang kebetulan bepergian ke luar negeri.
Adnan Jatmika, bagian pemasaran dari usaha kopi Kenteng Jaya di Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung mengatakan, kopi Kenteng Jaya sudah di kirim ke Inggris, Spanyol dan Finlandia. Namun, karena tidak mengetahui bagaimana cara untuk mengirim, maka semua kopi dititipkan saja ke orang lain.
“Kopi untuk negara Inggris dan Spanyol kami titipkan ke salah seorang kerabat yang kebetulan bekerja di kapal pesiar, dan pasokan kopi untuk Finlandia saya titipkan melalui perwakilan pihak KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) yang kebetulan akan mengikuti ajang pameran di sana,” ujarnya. Minggu (3/3/2019).
Ekspor kopi ke tiga negara tersebut dikirimkan dalam rentang waktu tahun 2017-2018. Total keseluruhan kopi yang dikirim ke Inggris dan Spanyol, mencapai 24 kilogram (kg) green bean kopi. Ketika itu, kerabat mengambil sendiri dari rumah produksi kemudian membawanya sebagai barang bawaan di pesawat. Adapun, untuk kopi yang dikirimkan ke Finlandia, Adnan mengatakan, pihaknya harus terlebih dahulu pesanan 6 kg green bean kopi tersebut ke KBRI melalui jasa kurir.
Respon pasar di tiga negara tersebut cukup bagus, namun, Adnan mengatakan, pengiriman kopi tidak bisa dilanjutkan karena pihaknya belum menemukan orang lain yang bisa membantu untuk membawa kopi ke luar negeri.
“Pelanggan kopi di Finlandia sebenarnya menginginkan ada pasokan rutin 10 kg green bean per bulan. Namun, permintaan itu tidak bisa kami penuhi karena kami tidak tahu bagaimana untuk mengirimkan kopi ke negara tersebut,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Nur Hidayati, pelaku usaha sambal teri dalam kemasan dari Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung. Sambal teri merek Laden produksinya tersebut, menurut dia, sudah sempat dikirimkan dan dipajang di pameran di Jerman dan Abu Dhabi. Ketika itu, sambal teri dibawa ke mancanegara, dengan cara dititipkan pada kerabat salah seorang rekannya.
“Kebetulan kerabat dari salah seorang teman tersebut adalah pengusaha olahan ikan dan menjadi peserta pameran di dua negara tersebut. Saya menitipkan produk untuk melengkapi produk dari pengusaha tersebut,” ujarnya.
Kebetulan kerabat dari salah seorang teman tersebut adalah pengusaha olahan ikan dan menjadi peserta pameran di dua negara tersebut. Saya menitipkan produk untuk melengkapi produk dari pengusaha tersebut
Namun, ketika pengusaha tersebut tidak lagi pergi ke luar negeri, Nur mengatakan, dia pun tidak bisa menitipkan produknya lagi. Pengiriman produk ke luar negeri pun berhenti karena dia tidak tahu prosedur yang harus ditempuh untuk ekspor.
Jera dengan eksportir
Untuk melakukan ekspor, Adnan mengatakan, memang tersedia opsi untuk memanfaatkan jasa eksportir. Namun, dia tidak ingin melakukannya, karena pihaknya pernah mengalami pengalaman buruk saat menggunakan jasa eksportir untuk mengirimkan kopi ke Finlandia.
“Ketika itu, kopi sampai ke Finlandia dalam kondisi label sudah dicopot, dibersihkan dari kemasan. Pelanggan kami di Finlandia pun akhirnya ragu untuk membeli karena tanpa label, kopi tersebut diduganya adalah kopi produksi daerah lain,” ujarnya.
Pengalaman tersebut, menurut Adnan, cukup membuatnya jera. Dengan tidak adanya label, dia pun curiga kemasan kopi Kenteng Jaya telah dibuka, dicampur dengan kopi daerah lain, kemudian dijual dalam kemasan baru.
Pengalaman buruk lainnya juga dialami oleh Srini Margaretha, ketua kelompok wanita tani (KWT) Merapi Asri di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Sekitar tiga tahun lalu, sedikitnya 20 petani anggota KWT Merapi Asri intens mengirimkan 100 kilogram atau 1 kuintal baby buncis per hari ke Singapura. Sempat berjalan selama tiga tahun, namun dia dan rekan-rekan petani lainnya memutuskan berhenti karena pembayaran dari eksportir selalu terlambat, dan baru dua hingga tiga bulan setelah buncis dikirim.
Selain membuat petani kesulitan, tidak memiliki modal untuk biaya operasional bertani selanjutnya, menurut Srini, hal itu sempat merusak tali silaturahminya dengan para rekan petani, anggota KWT Merapi Asri. Sebagian anggota sempat curiga, menuduh bahwa keterlmbatan pembayaran tersebut terjadi karena sebagian uang dari eksportir dikorupsi oleh Srini. Kondisi itu, pada akhirnya, membuat dirinya sangat gelisah.
“Daripada memperpanjang masalah, maka akhirnya saya pun memutuskan membayar semua uang anggota KWT dengan cara menjual satu sapi, milik saya pribadi,” ujarnya. Uang hasil menjual sapi itu digunakannya untuk membayar petani, sembari menunggu uang dari eksportir yang baru diterima, sekitar sebulan setelahnya.
Karena lambat laun pembayaran semakin sering terlambat, Srini dan dan rekan-rekannya pun kini enggan untuk melakukan ekspor lagi. “Kami baru akan kembali melakukan ekspor jika nantinya eksportir yang terlibat, mau langsung membayar petani tepat pada saat barang diambil,” ujarnya.