Pangkas Rantai Perdagangan Kelapa, Sumsel Bentuk UPPK
Oleh
Rhama Purna Jati
·3 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan membentuk Unit Pengolahan dan Pemasaran Kelapa sebagai wadah petani bagi kelapa bertransaksi langsung dengan pembeli. Keberadaan lembaga ini diharapkan memangkas panjangnya mata rantai tata niaga perdagangan kelapa sekaligus memutus ketergantungan petani terhadap tengkulak.
Hal tersebut menjadi kesepakatan dalam pertemuan antarpemangku kepentingan pedagangan kelapa seperti petani, pedagang, dan juga pengekspor kelapa di Kantor Dinas Perkebunan Sumsel, di Kota Palembang, Jumat (1/3/2019).
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian mengatakan, belajar dari keberadaan Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) yang dinilai berhasil mendongkrak harga karet, kini Unit Pengolahan dan Pemasaran Kelapa (UPPK) juga akan dibentuk.
Pembentukan lembaga tersebut juga diharapkan menjadi solusi terpuruknya harga kelapa di tingkat petani yang kini sekitar Rp 1.000 per butir. Keberadaan UPPK ini akan menjadi wadah bagi petani untuk berkelompok dalam menjual komoditas.
“Dengan berkelompok, hasil kelapa yang dapat dijual jauh lebih banyak, sehingga petani memiliki posisi tawar lebih kuat,” katanya.
Selama ini, lanjut Rudi, ketergantungan petani kelapa terhadap pengepul sangat tinggi. Hal ini yang menyebabkan petani kerap kali dirugikan. “Keuntungan terbesar malah dinikmati pedagang perantara, bukan petani,” katanya.
Di sisi lain, eksportir juga tidak bisa berhubungan langsung dengan petani lantaran telah bekerjasama dengan para pengepul. Rudi mengatakan, keberadaan UPPK bukan untuk menghapus keberadaan pengepul, tetapi memberikan alternatif bagi petani ataupun industri mendapatkan harga komoditas yang lebih menguntungkan.
Dia mencontohkan, harga getah karet petani yang bekerja sama dengan UPPB lebih tinggi dibandingkan yang menjual ke tengkulak. Selisih harganya mencapai Rp 2.000 per kg. “Perbaikan harga ini yang diharapkan terjadi di komoditas kelapa,” ungkapnya.
Dengan berkelompok, hasil kelapa yang dapat dijual jauh lebih banyak, sehingga petani memiliki posisi tawar lebih kuat
Rencananya, UPPK akan mulai beroperasi selambatnya pertengahan tahun ini, dengan Kabupaten Banyuasin sebagai daerah percontohan. Dari sana, akan diketahui hal-hal yang perlu dievaluasi.
Wakil Ketua Dewan Pengurus Nasional Perhimpunan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo) Muhammad Ashri menyambut baik usulan tersebut. Namun, yang menjadi permasalahan adalah petani tidak bisa lepas begitu saja dari pengepul. Penyebabnya, mereka yang selama ini memberi modal kepada petani untuk panen. “Dalam satu hektar lahan kelapa, butuh dana untuk panen berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta,” jelas Ashri.
Rendahnya harga kelapa di pasaran juga membuat petani sangat membutuhkan modal untuk memanen. Saat ini, harga kelapa di Sumatera Selatan berkisar Rp 900-Rp 1.000 per butir. Dengan harga ini, petani hanya mendapat untung bersih Rp 300 per butir kelapa.
“Terkadang, pengepul datang langsung ke petani menawarkan modal untuk memanen. Syaratnya, mereka harus menjual hasil panen kepada pengepul tersebut. Keberadaan UPPK akan efektif jika harga kelapa sedang tinggi seperti pada 2016 lalu, saat mencapai Rp 3.000 per butir," ujar Ashri.
Produksi kelapa di Sumsel cukup tinggi yakni sekitar 46.000 ton di tahun 2018. “Perbaikan harga kelapa tentu sangat diharapkan oleh 33.000 keluarga petani di Sumsel,” kata dia.
Kawar Brahmana, kepala Pemasaran PT Rima Jaya Perkasa, salah satu perusahaan penghubung dengan pembeli kelapa di luar negeri mengatakan, permintaan pasar ekspor sebenarnya cukup tinggi. Namun, banyak sentra yang tidak mampu menghasilkan kelapa sesuai kontrak kerja sama. Belum lagi, masih banyak petani yang belum menghasilkan kelapa dengan standar yang ditentukan.
Untuk itu, dia menyambut baik keberadaan UPPK yang memungkinkan pihaknya langsung bertemu dengan petani. Selama ini, menurut Kawar, dirinya hanya berkomunikasi dengan pengepul lataran mereka yang sudah membangun kerja sama dengan pihak pembeli. Selama ini, para importir kelapa berasal dari India, Pakistan, Cina, dan Malaysia.
Saat ini, harga kelapa di tingkat eksportir berkisar Rp 2.000- Rp 2.500 per butir. Dengan keberadaan UPPK, petani diharapkan mendapatkan harga yang lebih baik.