Kualitas lingkungan menjadi salah satu indikator pembangunan di Kalimantan Tengah. Semua dokumen perencanaan di kabupaten dan kota harus mengacu pada prinspi pembangunan berkelanjutan.
Oleh
DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·3 menit baca
PALANGKARAYA, KOMPAS – Kualitas lingkungan menjadi salah satu indikator pembangunan di Kalimantan Tengah. Semua dokumen perencanaan di kabupaten dan kota harus mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi dengan tema “Media dan Pembangunan Berkelanjutan di Kalimantan Tengah” yang diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi Kalteng dan Global Green Growth Institute (GGGI) Indonesia di Kalteng. Diskusi itu dilakukan di atas perahu susur sungai di Palangkaraya, tepatnya di Sungai Kahayan, Senin (25/2/2019).
“Kami tidak ingin pada proses pembangunan eksploitasi begitu besar dan merusak alam, jadi harus ada upaya memperhatikan kondisi lingkungan dan sosial,” ungkap Sekretaris Daerah Provinsi Kalimantan Tengah, Fahrizal Fitri.
Fahrizal menjelaskan, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Kalteng telah memasukkan isu ekonomi hijau dan pembangunan berkelanjutan. Hal itu nantinya wajib diikuti oleh 14 kabupaten/kota di Kalteng.
Selama ini, baru ada dua kabupaten yang sudah memiliki rencana strategis pertumbuhan ekonomi hijau, yakni Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Murung Raya. Namun, belum ada program atau inovasi ekonomi hijau yang dijalankan. Semuanya masih sebatas perencanaan.
“Ini penting karena semuanya pembangunan bermula dari perencanaan. Nanti hasilnya bisa dilihat dan diukur sesuai dengan daya tampung dan daya dukung di daerah masing-masing,” ungkap Fahrizal.
Anggota Sekretariat Pertumbuhan Ekonomi Hijau GGGI Maria Ratnanningsih mengungkapkan, sama halnya dengan tubuh manusia, kesehatan ekosistem sangat bergantung pada bagaimana perawatan dan pengelolaan sumber daya alam. Harus dipastikan baik daya dukung maupun daya tampungnya.
“Ekonomi hijau yang jelas bukan monokultur, harus ada banyak pengelolaan potensi dan inovasi daerah yang harus dikembangkan dengan menggunakan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, di sektor swasta sekalipun,” kata Maria.
Saat ini sedikitnya 136.928 orang yang hidup di bawah garis kemiskinan menggantungkan hidupnya pada sumber daya alam. Hal itu menjadi makin rentan terhadap kerusakan lingkungan dan bencana alam.
“Kalau pembangunan dijalankan dengan prinsip business as usual, masyarakat di sekeliling tidak akan menikmati, karena dia menjadi korban, tetapi pemerintah silahkan beri ijin tetapi dikawal, kita bicara fungsi bukan hanya komoditi,” ungkap Maria.
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalteng Dimas Novian Hartono mengungkapkan, pembangunan berkelanjutan dengan mengedepankan prinsip daya dukung dan daya tampung alam sudah disusun ke dalam sebuah peraturan presiden. Namun, kebijakan tersebut belum ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
“Jadi posisinya masih mendukung, karena percuma saja kalau tidak lewat perpres, daerah bisa saja mengganti RPJMDnya dan akan sama saja bentuknya dengan sebelum-sebelumnya,” kata Dimas.
Hal serupa juga disampaikan Koordinator Save Our Borneo (SOB) Safrudin Mahendra. Menurutnya, program ekonomi hijau tidak hanya menjual nama tetapi harus diimplementasikan. Menurutnya, program ini sangat kontradiksi dengan kondisi alam Kalteng saat ini di mana alih fungsi lahan masih terus terjadi.
Berdasarkan data Yayasan Pusaka, dari 15,3 juta hektar total luas wilayah administrasi Provinsi Kalteng, 78 persen atau 11,3 juta ha wilayahnya masuk kawasan konsesi, baik perkebunan maupun pertambangan. Rinciannya adalah 4,8 juta ha untuk hak pengusahaan hutan, 2,9 juta ha izin perkebunan, dan 3,6 juta ha pertambangan.
“Pemerintah tidak boleh malas mencari inovasi kreatif untuk pengembangan ekonomi. Masyarakat sudah melakukannya melalui kearifan lokal, sekarang tinggal pemerintah,” ungkap Safrudin.