Matahari terik. Debu beterbangan menyusul gelindingan roda kendaraan. Di sudut jalan, Hardianti (32) sigap melayani pembeli yang siang itu kebanyakan anak-anak sekolah dasar. Gempa bumi dan likuefaksi tak melumpuhkan semangat penyintas mencari nafkah.
“Beli apa, Dek,” sapa Hardianti dari dalam kios. Anca (8) menunjuk minuman yang dipajang di dalam lemari es. Segera Hardianti mengambilnya dan tak lupa memberikan pipet kepada siswa kelas II Sekolah Dasar Inpres Petobo, Kota Palu, Sulawesi Tengah, sebelum anak itu menyeberang menuju sekolah sementara di seberang kios.
Kios Hardianti dipretel dari bangunan hunian sementara (huntara) yang didirikan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sekitar sebulan setelah gempa bumi, tsunami dan likuefaksi di Sulteng, 28 September 2018. Total lima keluarga menempati huntara berukuran 3 meter x 6 meter itu.
Selain Hardinti dengan orangtuanya, keluarga lainnya adik dan sepupuhnya yang sudah menikah. Hardianti belum menikah. Mereka bagian dari 1.000-an keluarga yang menjadi penyintas likuefaksi (pencairan tanah) akibat gempa bumi 5 bulan lalu. Satu anak meninggal dari keluarga besar Hardianti.
Gempa bumi bermagnitudo 7,4 mengguncang Kabupaten Donggala, Sigi, Parigi Moutong, dan Kota Palu, 28 September 2018. Gempa itu disertai tsunami dan likuefaksi. Sekitar 4.000 orang meninggal dan hampir 100.000 rumah hilang dan rusak akibat bencana itu.
Sebelum bencana, keluarga itu memiliki kios yang cukup besar bersambungan dengan rumah di RT/RW 003/02, Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Kota Palu. Tak ada barang yang selamat dari kios ataupun rumah yang tertelan lumpur. “Setelah disepakati di dalam keluarga, kami memutuskan untuk buka kios lagi dengan modal pinjaman,” kata Hardianti.
Pinjaman diperoleh dari teman-teman kakak Hardianti, Mulyati (34), yang bekerja sebagai tenaga honorer di lingkup Pemerintahan Kabupaten Sigi, Sulteng. Tak menyebut jumlah, dari modal itu tonggak baru ekonomi keluara dibangun.
Awalnya mereka hanya menjual air minum kemasan, sedikit makanan ringan bungkusan, dan rokok. Pada Desember, dua bulan setelah kios dibuka, barang-barang lainnya ditambah. Itu dari keuntungan yang diperoleh dengan modal awal usaha. Saat ini, kios kecil itu cukup lengkap; selain air minum, termasuk yang dijual dalam kulkas, ada berbgai macam makanan ringan dalam bungkusan, minuman serbuk dalam kemasan, hingga penjualan pulsa telepon genggam dan paket data internet.
Kami kehilangan segalanya, bukan cuma kios, tetapi juga sawah. Kini, semuanya mulai seperti normal
Keluarga Hardianti mengantongi penghasilan kotor Rp 300.000 per hari. Uang itu cukup untuk apa yang disebutnya “mengisi dapur”. “Kami kehilangan segalanya, bukan cuma kios, tetapi juga sawah. Kini, semuanya mulai seperti normal,” ujarnya.
Keluarga itu memiliki sawah seluas seperempat hektar di Petobo dahulu. Sawah itu turut “terblender” karena likuefaksi. Ayah Hardianti yang dulu mengolah sawah saat ini bekerja serabutan, tapi lebih banyak menganggur.
Terkait tekad kuat untuk membangun kembali ekonomi keluarga, Hardianti menyebut Sunarti (54), ibunya paling memotivasi. “Ibu tidak mau kami berdiam diri saja di huntara. Saya pikir benar karena bagiamanapun hidup harus jalan terus,” aku Hardianti yang tamatan sekolah menengah atas.
Melukis
Kisah kebangkitan Abdul Rahman (57), penyintas tsunami, lain lagi. Penyintas di Kelurahan Panau, Kecamatan Tawaeli, Palu, memanfaatkan keterampilannya, yakni melukis untuk mencari nafkah. Di sela-sela kesibukannya mengurus kegiatan di masjid di pengungsian ia bisa menghasilkan satu lukiaan dalam tiga hari. “Dengan segala kekurangannya, kini saya bisa mengandalkan keterampilan melukis,” tutur warga RT/RW 002/06 itu.
Ia melukis dengan media papan lapis tipis menggunakan cat minyak. Kebanyakan ia melukis pemandangan, antara lain kompleks huntara dengan berbagai model dan latar berbeda di setiap lukisannya. Satu lukisan yang berukuran 1 meter persegi dihargai Rp 200.000-Rp 300.000.
Sebelum tsunami terjadi, Abdul nelayan menyambi menghiasi perahu para nelayan di pesisir Teluk Palu, termasuk perahu-perahu yang diikutkan dalam lomba di teluk yang biasanya diselenggarakan dua kali setahun. Hiasan tergantung pesanan pemilik perahu.
Di huntara ia tinggal dengan putra bungsunya, Muamar (18). Istrinya sudah meninggal 4 tahun lalu. Dua anaknya yang lain telah menikah. Rumah Abdul persis di pinggir pantai. Rumahnya rata tanah bersama 20-an rumah lain di RT/RW 002/06, Kelurahan Panau. Sebanyak 13 anggota keluarga besar dari pihak istrinya meninggal karena tsunami.
Pada Desember 2018, ia dikontrak sebuah lembaga sosial yang menyumbang perahu untuk nelayan di Kabupaten Donggala utara untuk melukis logo lembaga itu pada perahu. Ia diupah Rp 100.000 untuk setiap logo yang dilukis pada masing-masing 20 perahu. Uang itu jadi modalnya membeli cat dan medium lukisan. Sejauh ini, sudah 10 lukisan yang laku dijual. Masih ada 6 lukisan yang selesai digarap yang dipesan sebuah lembaga sosial.
Abdul bisa saja tak perlu bersusah payah untuk mencari nafkah. Ia bisa memilih tinggal dengan salah satu anaknya. Tetapi, ia tak mengambil pintas itu. “Saya hanya mau memanfaatkan keterampilan yang ada,” ucapnya.
Yuslan (56), tokoh masyarakat Petobo yang juga penyintas, menyatakan secara umum penyintas mulai bangkit beraktivitas “normal” satu bulan pascagempa. “Ada yang membangun huntara, ada yang buka kios. Warga tak lagi larut dalam duka,” ucapnya.
Di pengungsian Petobo, misalnya, kios bertebaran di pinggir jalan. Selain menjual barang-barang dari pabrik, dipajang juga barang-barang yang dihasilkan sendiri oleh penyintas, seperti nasi bungkus dan kue.
Secara langsung atau tidak langsung, penyintas saling menguatkan, memberi harapan. Cepatnya bantuan atau kepedulian dari komunitas di luar daerah bencana juga mendorong percepatan pemulihan
Dosen sosiologi Universitas Tadulako Palu Cristian Tindjabate menyatakan dengan karakter keguyupan orang Indonesia biasanya cepat pulih dari bencana. “Secara langsung atau tidak langsung, penyintas saling menguatkan, memberi harapan. Cepatnya bantuan atau kepedulian dari komunitas di luar daerah bencana juga mendorong percepatan pemulihan,” ucapnya.
Ia mengingatkan cepatnya pemulihan penyintas harus menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk membangun kembali daerah bencana dengan mitigasi yang lebih baik. Dengan begitu kepercayaan dari warga terhadap institusi formal yang makin tinggi. Ini jadi modal besar untuk hidup dalam optimisme.