SURABAYA, KOMPAS – Media massa harus tetap membuat laporan jurnalistik yang akurat, faktual, berimbang, dan bermanfaat untuk masyarakat. Untuk itu, jurnalis sebagai ujung tombak media massa jangan terlalu mengikuti isu-isu yang sedang tren di media sosial apalagi sebagai acuan untuk membuat laporan jurnalistik.
“Media massa jangan sekadar menjadi follower atau pengikut media sosial,” ujar Direktur Eksekutif Indonesia New Media Watch juga Komisioner Terpilih Dewan Pers Agus Sudibyo di sela Rembuk Migas dan Media dalam rangka Hari Pers Nasional 2019, Rabu (6/2/2019), di Surabaya, Jawa Timur. Media sosial ibarat pisau bermata dua. Satu sisi dapat dijadikan saluran promosi media massa. Sisi lain membawa dampak buruk dalam perkembangan pemberitaan media massa.
Saat ini perusahaan media massa; koran, radio, televisi, dan situs berita lazim memiliki akun media sosial (twitter, facebook, Instagram). Demikian pula jurnalisnya. Hal yang lumrah, perusahaan media massa dan jurnalis mempromosikan produk atau laporan jurnalistik dengan harapan mendapat perhatian dari pengikut atau publik. Cuitan resmi di media sosial juga bisa dipandang sebagai sikap terhadap isu-isu tertentu. Di sisi ini, media sosial menjadi sarana yang baik untuk media massa sehingga lebih eksis.
Sisi lain, isu-isu yang tren di media sosial jika dijadikan acuan untuk membuat laporan jurnalistik berdampak buruk. Jika ada berita yang disusun berdasarkan informasi di media sosial, Agus menyebutnya hit and run journalism. Di sini, media massa terburu-buru memberitakan informasi yang viral di media sosial tanpa klarifikasi, pengecekan, dan verifikasi. Itu menabrak elemen jurnalisme, prinsip verifikasi, kode etik jurnalistik, dan Undang-Undang Pers.
Apalagi, di media sosial, keakuratan dan atau kebenaran informasi sangat diragukan. Media sosial menjadi sumber penyebaran berita bohong atau hoaks. Jika media massa menjadikan media sosial sebagai acuan, akan dianggap juga sebagai penyebar kebohongan.
Pendapat senada pernah diutarakan oleh Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Petra Ido Prijana Hadi. Berita bohong membuat pembenaran bahkan asumsi menjadi lebih dipercaya daripada kebenaran. Ini berkelindan dengan situasi bahwa informasi yang diproduksi mengedepankan kecepatan daripada verifikasi dan akurasi. “Inilah fast food journalism atau jurnalisme cepat saji yang sayangnya, banyak jurnalis saat ini menyajikan berita cuma dari media sosial tanpa verifikasi,” katanya.
Isu-isu yang sedang tren di media sosial boleh saja dipakai tetapi sebagai bahan untuk dikembangkan dalam kerja jurnalistik. Misalnya, isu soal pelacuran dalam jaringan internet yang melibatkan kalangan selebritas. Media massa juga perlu memberitakannya tetapi secara proporsional, tidak menjatuhkan martabat manusia, dan memberi pencerahan kepada publik mengapa kasus ini perlu mendapat atensi.
Namun, dalam kenyataannya, pemberitaan yang muncul menuai kritik terutama dari kalangan yang peduli terhadap perkembangan jurnalisme. Dalam kasus prostitusi online itu, pemberitaan sejumlah media massa dianggap menyudutkan bahkan mengeksploitasi korban dan pelaku. Pemberitaan juga tidak proporsional bahkan amat berlebihan. Padahal, masih banyak isu lain yang perlu digali dan disampaikan kepada publik misalnya jelang Pemilihan Umum 2019, kasus korupsi, pencemaran lingkungan, dan atau akhir-akhir ini wabah DBD yang merenggut banyak korban jiwa.
Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia Atal Depari mengatakan, media massa masih diperlukan dalam konteks membangun peradaban. Media massa berperan strategis dalam kehidupan masyarakat jika dipertahankan sebagai pemandu dan lembaga dimana publik dapat menemukan informasi benar dan mencerahkan untuk kehidupan.