Tawuran di Magelang Dirancang Rapi agar Tak Terendus Polisi
Oleh
regina rukmorini
·3 menit baca
MAGELANG, KOMPAS - Sedikitnya 40 siswa dari dua SMK di Kota Magelang, terlibat tawuran di Desa Mungkid, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Kamis (31/1/2019) petang. Aksi tawuran yang telah direncanakan rapi ini menyebabkan seorang pelajar tewas, dan lima lainnya luka-luka.
Korban tewas adalah Nurul Aziz (17), warga Desa Salam, Kecamatan Salam. Korban meninggal setelah terluka parah di bagian punggung akibat tusukan senjata tajam yang tembus hingga ke paru-paru dan jantung. Selain ditusuk, korban diketahui juga diinjak-injak oleh puluhan siswa lain. Aziz menjadi korban karena berdiri di barisan terdepan dari kelompoknya.
Kepala Kepolisian Resor (Polres) Magelang Ajun Komisaris Besar Yudianto Adhi Nugroho, Jumat (1/2) mengatakan, tawuran dilakukan dengan menggunakan sekitar 30 senjata tajam yang sudah dipersiapkan sekelompok orang sebelumnya.
Polisi telah menahan tiga pelaku yang diketahui menusuk korban. Polisi juga tengah memperdalam penyelidikan menyangkut peran sekitar 30 siswa lain dalam aksi tawuran tersebut. “Saat ini, kami juga menyelidiki dugaan keterlibatan alumni SMK di dalamnya,” ujar Yudianto.
Tiga tersangka yang telah ditahan tersebut yakni Lorensius Raymundo Bagas Lowe Kumanireng alias Kuman (18), Indra Prajaya alias Temon (19), dan N alias Peyek (17). Atas perbuatannya, tiga pelaku dinyatakan melanggar pasal 80 ayat 3 UU RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan UU RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman pidana maksimal 15 tahun penjara atau denda Rp 3 miliar.
Direncanakan rapi
Yudianto mengatakan, aksi tawuran tersebut sudah direncanakan beberapa hari sebelumnya. Senjata tajam yang dibawa para pelajar tersebut, sebelumnya juga telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh sejumlah orang tertentu. Senjata tajam tersebut terdiri dari gir, celurit, pedang, dan besi yang telah dimodifikasi.
Aksi ini dirancang rapi. Kedua kelompok siswa dari dua sekolah berbeda ini, tidak datang ke lokasi tawuran dengan cara konvoi dan beramai-ramai. Dengan cara ini, maka rencana tawuran akhirnya tidak terdeteksi polisi.
Yudianto mengatakan, dua sekolah ini memang sudah sejak lama bermusuhan. Para siswa dari dua sekolah tersebut seringkali berkelahi karena alasan yang berbeda-beda. Namun, tawuran yang terjadi Kamis kemarin, dipicu oleh saling ejek nama sekolah di media sosial.
“Nama sekolah jadi bahan ejekan dan siswa dari sekolah yang bersangkutan tidak terima hal itu,” ujar Yudianto.
“Nama sekolah jadi bahan ejekan dan siswa dari sekolah yang bersangkutan tidak terima hal itu,” ujar Yudianto.
Namun demikian, tidak semua siswa yang terlibat perkelahian massal mengaku paham alasan tawuran. Indra Prajaya alias Temon misalnya, mengakui sebenarnya hanya ikut-ikutan saja. “Saya terlibat tawuran karena kebetulan diajak oleh teman,” ujarnya.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Lorensius. Setelah diajak oleh teman, dia pun mengambil senjata tajam yang telah disiapkan orang lain di satu lokasi tertentu, kemudian segera meluncur ke lokasi tawuran di Desa Mungkid.
Agustine Dwiputri, seorang psikolog, di Harian Kompas yang terbit tanggal 12 Agustus 2017 pernah menulis, maraknya berbagai peristiwa negatif yang terjadi bertahun-tahun belakangan ini, seperti kekerasan fisik dan psikis, perundungan di sekolah ataupun tempat kerja, tawuran antarkelompok, dan tindakan main hakim sendiri, bermuara dari merosotnya respek atau rasa hormat kepada sesama sebagai satu nilai kehidupan manusia yang penting.
Dia mendorong para orangtua, pendidik, pelatih, ataupun pihak yang terlibat dalam mengajarkan nilai-nilai dasar kehidupan perlu terus menyadarkan, memberi teladan, dan mengembangkan rasa hormat dan menghargai orang lain dalam setiap aspek kehidupan.
Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), jumlah anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai pelaku maupun korban kekerasan fisik berupa penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian ada kecenderungan naik dari tahun ke tahun walaupun terkadang turun.
Jumlah anak yang menjadi pelaku pada 2017, misalnya naik menjadi 112 anak dari sebelumnya 108 anak. Adapun anak yang menjadi korban penganiayaan, pengeroyokan, dan perkelahian tahun 2017 sebanyak 173 anak, naik dari 2016 sebanyak 146 anak.