BANDAR LAMPUNG, KOMPAS — Konflik gajah dengan manusia di kawasan perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, Lampung, hingga kini masih berlangsung. Untuk menghalau gajah yang kerap merusak tanaman perkebunan, masyarakat menginisiasi pembuatan sabuk hijau atau green belt.
Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah 9 Kota Agung Utara Zulhaidir mengatakan, pembuatan sabuk hijau itu dilakukan dengan cara menanam tanaman yang tidak disukai gajah di kawasan perbatasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan hutan lindung, tepatnya di Register 31, Kabupaten Tanggamus. Saat ini, tim KPH Kota Agung Utara turut mendampingi masyarakat untuk melakukan penanaman.
”Untuk tahap awal, kami merencanakan akan menanam di area perbatasan sepanjang 3 kilometer yang selama ini menjadi jalur lintasan gajah liar. Penanaman akan mulai dilakukan pekan depan,” kata Zulhaidir saat dihubungi dari Bandar Lampung, Jumat (1/2/2019) sore.
Tanaman yang tidak disukai gajah antara lain tanaman lemon, salak-salakan, dan serai wangi. Tumbuhan itu ditanam di sisi lahan hutan lindung yang sebagian besar sudah digarap warga. Sementara di sisi lahan TNBBS ditanami tanaman yang disukai gajah seperti rumput gajah.
Ia mengatakan, inisiasi itu muncul setelah masyarakat berdiskusi dengan pemerhati satwa liar. Langkah tersebut diambil sebagai upaya untuk menghalau kawanan gajah liar yang kerap merusak tanaman pisang yang ditanam di lingkungan masyarakat.
”Saat ini, kami sedang membantu mengumpulkan bibit tanaman dari para donatur. Ini dilakukan karena tidak ada anggaran (pemerintah) untuk melakukan penanaman di situ,” ucap Zulhaidir.
Selama ini, lanjutnya, masyarakat terus melakukan patroli secara bergantian untuk memantau kawanan gajah liar. Meski begitu, masyarakat yang tidak memiliki kapasitas menghalau gajah kerap kesulitan saat kawanan gajah liar masuk dan merusak tanaman perkebunan, antara lain pisang dan nangka.
Masyarakat mengusir gajah liar dengan cara membuat dentuman agar gajah takut. Namun, kini cara itu dinilai kurang efektif untuk mengusir gajah. Kawanan gajah liar kembali merusak puluhan batang pohon pisang yang siap panen.
Penggiringan
Selama setahun terakhir, tim dari Elephant Response Unit bersama WWF Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan serta instansi terkait telah melakukan penggiringan gajah. Gajah digiring dari hutan lindung menuju taman nasional. Namun, konflik gajah dengan manusia terus terjadi.
Gajah kerap masuk dan mendekati permukiman warga di Tanggamus. Konflik gajah dan manusia itu juga meluas sampai Kabupaten Lampung Barat. Hingga kini, konflik itu telah menelan tiga korban jiwa.
Menurut data Balai Konservasi Sumber Daya Alam Lampung-Bengkulu, sedikitnya terjadi 62 konflik gajah dan manusia di Tanggamus selama periode 2017-2018. Di sekitar area konflik, diperkirakan 5.000 warga membuka hutan secara ilegal puluhan tahun lalu. Banyaknya warga yang bermukim di kawasan hutan membuat potensi konflik gajah-manusia di Lampung masih tinggi.
Project Leader WWF Indonesia Regional Sumatera Bagian Selatan Yob Charles menuturkan, berdasarkan hasil observasi oleh tim WWF, gajah liar menjadi bergantung pada pisang, jagung, dan nangka yang tersedia di dalam hutan lindung. Kondisi habitat yang telah berubah juga membuat pola dan perilaku gajah dalam mencari makan berubah.
”Gajah menjadi lebih senang dengan jenis makanan baru, seperti pisang, jagung, dan beras,” katanya.