Kita tidak bisa mengesampingkan peran Juru Pemantau Jentik atau Jumantik ketika wabah demam berdarah merebak dalam satu bulan terakhir. Mereka, para kader Jumantik bekerja untuk mengamati keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di masyarakat, lalu memusnahkannya. Berbagai cara mereka lakukan, bahkan jika perlu menggandeng tokoh agama.
Demi mencegah DBD, mereka harus datang dari satu rumah ke rumah warga lainnya. Saat datang ke rumah-rumah inilah, mereka akan mendapati sambutan dan perangai berbeda dari sang tuan rumah.
Tidak sedikit warga menyambut mereka antusias dan proaktif mengikuti apa yang disarankan demi terjaganya lingkungan tetap sehat. Namun, tidak jarang pula, mereka mendapati warga yang kurang proaktif dan menolak rumahnya diperiksa dengan berbagai alasan, termasuk alasan tidak masuk akal.
“Ada warga yang tidak mau dikasih abate. Ada pula yang tidak mau dikasih ikan karena alasan amis," kata Retno Handayani, salah satu Jumantik dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Kediri, Jawa Timur, Jumat (1/2/2019).
Ada warga yang tidak mau dikasih abate. Ada pula yang tidak mau dikasih ikan karena alasan amis
Bahkan, menurut Retno, ada warga yang jelas-jelas memiliki gentong (tempayan besar) berisi air dan di dalamnya terdapat jentik nyamuk, masih menolak saat tempayan itu hendak dikuras. "Alasannya itu air suci,” tuturnya.
Menurut Retno warga yang melarang gentongnya dikuras kemudian memberi mengizinkan dengan syarat para kader Jumantik harus mengganti dengan uang bernilai jutaan rupiah.
Karena sulit meyakinkan, mereka kemudian menghubungi perangkat desa setempat. Sang perangkat desa membenarkan jika orang yang dimaksud memang sulit diberi pengertian.
“Perangkat desa kemudian meminta kami minta bantuan ke tokoh agama setempat yang bisa memberi pengertian kepada orang yang bersangkutan. Sang tokoh agama berjanji akan membantu kami menyadarkan orang yang bersangkutan. Kami juga menitipkan bubuk abate ke beliau,” tuturnya.
Menurut Retno karakter masing-masing orang berbeda. Ada orang yang masih lugu namun ada pula yang cukup alot menerima saran dari pihak lain. Selain itu, ada juga warga yang proaktif namun hanya sebatas lisan.
“Mereka bilang ‘iya’ (mau membersihkan lingkungan) namun hanya kata-kata saja. Setelah kami beranjak, mereka tidak melaksanakannya,” ucap Retno.
Melihat orang yang demikian, maka mau tidak mau para keder Jumatik harus berjibaku turun tangan. Misalnya, mereka harus berjibaku menguras air dan menggosok lumut yang menempel di dinding bak mandi dari semen yang ukurannya cukup besar.
Novita Freida Anggraini, petugas Jumantik Dinkes Kabupaten Kediri lainnya, lebih beruntung. Ia belum sempat menemui pengalaman aneh selama di lapangan.
Hari ini, misalnya, kebetulan dirinya menemukan bekas pabrik yang menjadi tempat barang bekas dan tumpukan tempurung kelapa. Tempat itu memungkinkan bagi berkembangnya nyamuk.
“Saya ajak kader Jumantik lainnya, Ketua RT, dan perangkat desa untuk melihat lingkungan sekitar. Ternyata memang banyak jentik. Saya tunjukkan ke pemilik pabrik dan diskusikan bagaimana solusi mengatasinya,” ujarnya.
Kepala Seksi Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Menular Dinas Kesehatan Kabupaten Kediri Nur Munawaroh membenarkan bahwa masih ada warga yang belum proaktif dan terkesan enggan diajak membersihkan lingkungan. Hal ini membuat PSN terkesan tidak efektif.
Menurut Munawaroh mereka perlu terus diedukasi agar tidak bosan-bosan membersihkan lingkungan. Hal ini penting karena angka bebas jentik di masyarakat masih rendah. Belum semua jentik nyamuk hilang. Ada daerah yang bebas jentiknya hanya 40 persen. Artinya dari 100 rumah yang diperiksa, hanya 40 rumah yang bebas dari jentik nyamuk.
Kabupaten Kediri sendiri merupakan salah satu daerah di Jawa Timur yang memiliki angka kasus demam berdarah cukup tinggi. Sejak 1 Januari-1 Februari 2019 ada 416 kasus positif demam berdarah dengan kematian 12 orang.