Kebijakan Anggaran Belum Berpihak pada Lingkungan Hidup
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Buku “Analisis Kebijakan Anggaran Lingkungan Hidup Menggunakan Budget Tagging di Provinsi Sumbar : Alokasi Kecil dan tidak Tepat Sasaran” yang diterbitkan Perkumpulan Integritas dan Yayasan Auriga Nusantara. Buku berisi hasil kajian terhadap kebijakan anggaran lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Barat.
PADANG, KOMPAS – Hasil kajian Perkumpulan Integritas dan Yayasan Auriga Nusantara tentang kebijakan anggaran lingkungan hidup di Provinsi Sumatera Barat menunjukkan kebijakan anggaran di Sumbar belum berpihak pada perlindungan lingkungan hidup. Alokasi anggaran pada lingkungan rendah dan tidak tepat sasaran.
Koordinator Perkumpulan Integritas Arief Paderi di Padang, Kamis (31/1/2019) mengatakan hasil kajian menyimpulkan bahwa orientasi kebijakan fiskal untuk memperbaiki tata kelola lingkungan hidup di Sumbar belum memadai. Kajian telah diterbitkan dalam buku “Analisis Kebijakan Anggaran Lingkungan Hidup Menggunakan Budget Tagging di Provinsi Sumbar : Alokasi Kecil dan tidak Tepat Sasaran”, penerapan anggaran berbasis lingkungan hidup di Sumbar tahun 2013-2016.
Pada 2013, lanjut Arief, Pemerintah Provinsi Sumbar hanya mengalokasikan 0,48 persen atau Rp 16,13 miliar dari total belanja daerah yang mencapai Rp 3,33 triliun untuk lingkungan. “Pada 2016, alokasi naik menjadi Rp 44,6 miliar atau 0,93 persen dari total anggara belanja pemerintah daerah. "Tetapi, jumlah itu sangat minim dan tidak relevan dengan upaya memperbaiki lingkungan hidup di daerah,” kata Arief.
Menurut Arief terjadi inkonsistensi antara sasaran pembangunan dan kebijakan anggaran karena alokasi belanja fungsi lingkungan tidak proporsional secara kuantitas. Selain itu, penggunaan anggaran belanja fungsi lingkungan juga tidak efektif.
"Hal itu dibuktikan dengan rendahnya anggaran dan realisasi belanja yang memiliki dampak secara langsung terhadap pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup. Bahkan ada yang tidak berdampak secara langsung dan tidak bedampak sama sekali,” kata Arief.
Pada 2013, terdapat Rp 1,62 miliar anggaran berdampak langsung atau 11,0 persen dari total anggaran fungsi lingkungan hidup. Sedangkan yang berdampak tidak langsung (jangka panjang) sangat besar, yakni mencapai Rp 11,48 miliar atau sebesar 77,7 persen dari total anggaran. Adapun tidak berdampak mencapai Rp 1,67 miliar atau sebesar 11,3 persen.
Sedangkan pada tahun 2016, terjadi perbaikan. Total anggaran yang berdampak langsung naik menjadi Rp 22,50 miliar atau 58,5 persen terhadap total anggaran. Begitu juga dengan anggaran yang berdampak tidak langsung (jangka panjang) naik menjadi Rp 12,75 miliar, namun secara proporsi turun menjadi 33,2 persen. Alokasi anggaran yang tidak berdampak juga naik menjadi Rp 3,81 miliar, namun dari sisi proporsi turun menjadi 8,3 persen.
Inkonsistensi
Menurut Arief, kondisi itu berdampak pada kinerja pembangunan lingkungan hidup Sumbar yang diukur dari indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH), indeks kualitas air (IKA), indeks kualitas udara (IKU), dan indeks kualitas tutupan lahan (IKPL).
“Hasilnya menunjukkan inkonsistensi antara anggaran dan dampaknya. Artinya, peningkatan jumlah anggaran fungsi lingkungan setiap tahun ternyata tidak paralel dengan peningkatan IKLH,” kata Arief.
Pada 2015 misalnya, anggaran fungsi lingkungan menjadi Rp 39,01 miliar atau naik dari Rp 17,9 miliar dari 2014. Hanya saja, IKLH dan indeks kualitas lainnya justru turun.
IKLH turun dari 70 persen ke 60 persen dan IKA turun dari 53,71 persen ke 31,04 persen. Sedangkan pada 2016, saat anggaran fungsi lingkungan naik ke Rp 44,6 miliar, IKLH Sumbar cenderung stagnan. Meskipun IKA naik, namun IKPL dan IKU turun.
KOMPAS/ISMAIL ZAKARIA
Berbagai jenis sampah, terutama sampah plastik kembali mengotori Pantai Muaro Lasak di Kawasan Pantai Padang, Kota Padang, Sumatera Barat, seperti terlihat Rabu (23/1/2019) siang. Kondisi ini terjadi hampir setiap tahun akibat kecerobohan warga membuang sampah ke sungai, terbawa ke laut, dan kembali ke darat dibawa gelombang.
Arief mengatakan organisasi perangkat daerah (OPD) yang menjadi objek kajian adalah Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Dearah (Bapedalda) yang sekarang bernama Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Sumbar, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Dinas Kehutanan, Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral, dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP).
Khusus pada 2016, OPD yang menjadi objek adalah DLH, BPBD, dan Dinas Kehutanan. "Objek ini mengikuti penetapan pemerintah terhadap OPD yagn menjalankan program dan kegiatan fungsi lingkungan hidup di Sumbar,” kata Arief.
Kajian yang dilakukan sejak Desember 2017 hingga Mei 2018 itu menggunakan pendekatan budget tagging atau penandaan penggunaan anggaran. Pendekatan berfungsi untuk mengindentifikasi dan menghitung proporsi pengeluaran pemerintah daerah yang dialokasikan dan direalisasikan.
Data yang dikaji adalah dokumen Penjabaran APBD Sumbar 2013-2016 dan dokumen Laporan Realisasi Anggaran Provinsi Sumbar 2013-2016. Selain itu Laporan Hasil Pemeriksaan BPK RI Perwakilan Sumbar terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Sumbar 2013-2016, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Sumbar 2010-2015.
DOKUMENTASI BPBD SUMBAR UNTUK KOMPAS
Tim gabungan mengevakuasi korban longsor di kawasan Sitinjau Laut, tepatnya di titik Panorama 2, Kecamatan Lubuk Kilangan, Kota Padang, Sumatera Barat, Jumat (14/12/2018). Longsor mengakibatkan jalur Padang-Solok kembali terputus serta satu orang meninggal dunia, satu koma, dan tiga lainnya luka.
Menanggapi hal itu, Kepala Sub Bidang Sumber Daya Alam, Tata Ruang, dan Lingkungan Hidup Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Sumbar Firdaus Arifin mengakui bahwa secara data, pada 2013-2015 kebijakan anggaran belum memadai untuk lingkungan hidup. Meski demikian, sejak 2017 hingga saat ini, pihaknya mulai menerapkan prinsip kehati-hatian dan sangat selektif pada alokasi anggaran.
“Kebijakan anggaran berbasis lingkungan memang harus diperhatikan. Apalagi dengan kondisi anomali cuaca seperti saat ini. Sumbar yang kondisi lingkungannya sangat rentan juga terpengaruh," kata Firdaus.
Meski demikian, pihaknya sangat selektif untuk memastikan kegiatan yang akan dilaksanakan untuk mendukung pencapaian RPJMD. "Kalau tidak, kami tolak. Hal itu juga sebagai langkah untuk menutup peluang terjadinya tindakan korupsi,” kata Firdaus.
Seperti diketahui, Perkumpulan Integritas adalah organisasi non pemerintah di Padang bekerja di bidang hukum dan peradilan, kebijakan, dan pendidikan antikorupsi. Adapun Yayasan Auriga organisasi non-pemerintah yang bergerak dalam upaya untuk melestarikan sumber daya alam Indonesia dan lingkungan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.