Memetik Hasil Ciamik dari Kegigihan Jumantik
Ertin (37) masih ingat betul bagaimana gigitan nyamuk Aedes aegypti membuat anaknya, Intan (16) dan Ananda Zaki (10), serta sejumlah tetangganya dirawat di rumah sakit karena terjangkit demam berdarah dengue, lima tahun silam.
DBD merebak di sekitar rumahnya. Kesadarannya untuk menjadi jadi kader juru pemantau jentik (jumantik) perlahan memupus petaka menakutkan itu.
”Dulu, nyamuknya banyak sekali. Di mana-mana banyak nyamuk. Saya takut karena ada anak tetangga yang meninggal karena DBD,” ujar Ertin saat ditemui di rumahnya di Desa Kasugengan Lor, Kecamatan Depok, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Selasa (22/1/2019).
Tak ingin petaka berulang, pada 2017, Ertin mantap menjadi kader jumantik. Dia turut memberantas sarang nyamuk, sumber penularan DBD. Ia belajar dan mengaplikasikan 3M, yakni menguras dan menutup rapat semua penampungan air, serta mengubur atau mendaur ulang barang bekas yang dapat menjadi tempat penampungan air.
Ia berkeliling dari rumah ke rumah di desanya. Hingga akhir Desember 2018, lebih dari 100 rumah ia kunjungi. Selain menyosialisasikan 3M, ia juga mengecek jentik di bak kamar mandi hingga pot di rumah warga. Senjatanya senter kecil.
Sebagai jumantik, pengalamannya beragam. Ertin sempat dianggap mengusik usaha warga setempat yang berprofesi sebagai perajin furnitur dari ban bekas. Penyebabnya, ia kerap datang dan mengingatkan agar jangan sampai ada air yang tergenang di tumpukan ban bekas di sana.
Kiprah Ertin ikut mengantar Desa Kasugengan Lor keluar dari kategori endemis DBD pada 2018. Endemis diberikan bagi desa yang tiga tahun terakhir ada kasus DBD. Di Depok, kini hanya dua desa yang endemis dari sebelumnya lima desa.
Kokom Kumalasari (37) juga berkeliling di Desa Karangwangi, Kecamatan Depok. Saat pagi hingga sore, Kokom berkeliling sebagai jumantik. Kadang ada uang transportasi sekitar Rp 30.000 per hari. Malam hari, ibu dua anak ini menjahit untuk menyambung hidup. ”Tiga bulan terakhir, saya mengunjungi 300 rumah,” ujar Kokom.
Sumiati (60), jumantik asal Desa Setupatok, Kecamatan Mundu, punya cerita lain. Ia sempat dianggap peminta sumbangan ketika ingin mengecek jentik di rumah warga. ”Mungkin karena saya bawa map,” ucapnya.
Map itu berisi daftar rumah yang akan didatangi dan surat tugas dari puskesmas. Tanpa itu, warga sukar percaya kalau ia jumantik. Apalagi, beberapa kali ada pihak tak bertanggung jawab yang mengecek bak mandi warga sembari menjual abate, serbuk pembasmi jentik nyamuk. ”Padahal, kalau di saya, bubuk abate itu gratis,” ucapnya.
Akan tetapi, perjuangan nenek enam cucu itu tidak ringan. Kaki rentanya tak sanggup dibawa berkeliling ke 3.000 rumah di desanya. Dia sangat berharap, punya rekan jumantik agar tugasnya jauh lebih ringan. DBD berbahaya bila dibiarkan.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Nanang Ruhyana mengatakan, peran 976 kader jumantik di lebih dari 400 desa di Cirebon dapat menekan laju kasus DBD. Pada 2018, tercatat 215 kasus DBD dengan korban meninggal 8 orang. Angka itu jauh menurun dibandingkan dengan 2015, yakni 1.247 kasus dengan 42 nyawa melayang.
Dari sekolah
Upaya PSN juga dilakukan di sekolah-sekolah di Kota Bandung, Jawa Barat. Selasa siang, siswa SDN 113 Banjarsari, Kota Bandung, aktif membersihkan taman dan lingkungan sekolah. Inilah materi Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) yang diterapkan di sekolah itu.
”Mata pelajaran PLH ini 70 persen praktik dan 30 persen teori. Saat ini kami tengah mewaspadai bahaya DBD,” ujar guru PLH SDN 113 Banjarsari, Cayat.
Wakil Kepala SDN 113 Banjarsari Bidang Humas Hamka Djaenudin mengatakan telah menginstruksikan penjaga sekolah untuk memantau bak air di toilet dan tempat wudu. Tanpa antisipasi, bukan tidak mungkin DBD merebak di sekolah.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinkes Kota Bandung Rosye Arosdiani Apip mengatakan, peran serta semua lapisan masyarakat sangat dibutuhkan. Salah satunya dapat dimulai dari sekolah karena jumlah kasus pada anak dan remaja sangat tinggi. (Abdullah Fikri Ashri/Samuel Oktora)