KUTACANE, KOMPAS — Sebanyak 1.765 rumah penduduk di 18 desa di Kabupaten Aceh Tenggara, Aceh, digenangi banjir dengan ketinggian air 30 sentimeter hingga 50 sentimeter. Sungai Lawe Bulan dan Lawe Natam meluap setelah hujan berintensitas tinggi turun dalam beberapa hari.
Kerusakan alam dan kerusakan daerah aliran sungai telah memicu banjir terus berulang. Selama tiga bulan terakhir, sudah empat kali banjir terjadi di Aceh Tenggara.
Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Aceh Tenggara Dicky Danu Wijaya, dihubungi Rabu (16/1/2019) mengatakan, air mulai menggenangi permukiman warga pada Selasa (15/1/2019) sekitar pukul 22.00. Warga sempat panik lantaran banjir terjadi pada malam hari.
”Tetapi tidak ada yang mengungsi karena pada paginya air sudah surut. Saat ini warga melakukan pembersihan rumah,” kata Dicky.
Sebanyak 18 desa yang terkena banjir itu berada di Kecamatan Badar, Babussalam, Bambel, dan lawe Bulan. Banjir sempat menggenangi jalan nasional penghubung Aceh Tenggara dengan Sumatera Utara.
Dicky menuturkan, banjir menjadi bencana rutin melanda kabupaten ini. Dalam tiga bulan terakhir, empat kali banjir luapan dan banjir bandang melanda. Pada November 2018, belasan rumah bahkan hancur diterjang banjir bandang.
Menurut Dicky, kerusakan lingkungan dan sungai memicu bencana banjir. Sungai-sungai di Aceh Tenggara, kata Dicky, mengalami sedimentasi parah. ”Setiap kali banjir, sedimentasi kian parah. Jika tidak dilakukan normalisasi, banjir akan tetap terulang,” kata Dicky.
Catatan Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA), bencana banjir, longsor, dan banjir bandang di Aceh pada 2018 terjadi 127 kali dengan nilai kerugian Rp 655,8 miliar. Adapun di Aceh Tenggara, selama 2018 terjadi 17 kali bencana alam dengan nilai kerugian Rp 80 miliar.
Dicky menuturkan, tahun ini Pemkab Aceh Tenggara berencana menormalisasi Sungai Lawe Natam dan Lawe Bulan menggunakan anggaran daerah. Namun, kata Dicky, karena anggaran terbatas, tahun ini yang dikerjakan 25 kilometer.
Pemicu banjir dan bandang di Aceh Tenggara bukan hanya karena intensitas hujan dan kerusakan sungai. Namun, hancurnya hutan karena perambahan dan alih fungsi lahan membuat daya tampung air tanah menurun. Akibatnya, tanah cepat jenuh dan ambles saat air dalam jumlah besar tidak mampu ditampung lagi.
Direktur Forum Konservasi Leuser Rudi Putra mengatakan, pada 2018 terjadi deforestasi di Aceh Tenggara seluas 1.000 hektar. Penyusutan hutan di hulu sungai itu memicu bencana banjir dan longsor. Anehnya, kata Rudi, tidak ada upaya pemulihan terhadap hutan yang rusak.
Hasil pemantauan FKL pada 2018 ditemukan sebanyak 233 kasus perambahan hutan dan 266 kasus penebangan liar dengan jumlah kayu 641,92 meter kubik. ”Perambahan hutan dan illegal logging berlangsung sejak lama. Selama tidak ada upaya menghentikan perusakan hutan, bencana akan terus mengancam,” kata Rudi.
Sebelumnya, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Wilayah VI Irwandi mengatakan, seharusnya area budidaya yang dijadikan perkebunan tetap memperhatikan fungsi hutan. Sebab, sejatinya area budidaya juga merupakan daerah resapan air.
”Kami akan mendorong petani menanam tanaman kehutanan, seperti kemiri, jengkol, dan durian,” kata Irwandi.
Irwandi mengatakan, kawasan budidaya bukan tanggung jawab KPH. Namun, petani perlu diedukasi agar aktivitas bertani memberikan kesejahteraan dan menyelamatkan lingkungan.