Penyintas Butuh Kepastian
Para penyintas tak tahan hidup mengandalkan bantuan. Mereka ingin segera bertani. Jika lahan relokasi tak kunjung ditetapkan, bisa jadi mereka nekat bertani di lahan rawan longsor.
SUKABUMI, KOMPAS Penyintas bencana alam di Kampung Garehong, Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ingin segera menata hidup dan bertani, tetapi belum ada kepastian lahan relokasi. Dikhawatirkan mereka nekat bertani di lahan rawan longsor.
”Warga ingin lekas bekerja. Dalam waktu dekat, benih padi yang diselamatkan akan dibagi secara merata bagi warga. Benih padi itu menjadi bekal warga untuk kembali bertani,” kata Kepala Desa Sirnaresmi Iwan Suwandri di Sukabumi, Kamis (10/1/2019).
Akan tetapi, keinginan itu belum bisa terwujud dalam waktu dekat. Hampir dua minggu pascalongsor, belum juga ada kepastian lahan yang aman untuk digarap warga. Saat ini hampir semua lahan pertanian di Garehong tertutup material longsor. Iwan khawatir, jika warga nekat sembarangan bertani, longsor bisa terjadi lagi.
”Kami belum mengizinkan warga membuka sawah. Sembari menunggu lahan relokasi, warga diminta fokus menyalurkan bantuan,” katanya.
Hal senada dikatakan Kepala Dusun Cimapag Lili Amaludin. Aktivitas penyintas serba terbatas saat mengungsi ke rumah kerabatnya. Untuk kebutuhan sehari-hari, mereka mengandalkan bantuan para donatur. Kondisi itu, kata Lili, rentan membuat warga jenuh. Dia khawatir, jika terus dibiarkan, warga akan kembali bertani di lahan rawan longsor.
Menurut Wiharta (35), penyintas Garehong, dia mulai merasa tak nyaman hidup mengandalkan bantuan. Jika kepastian lahan relokasi tidak kunjung diberikan, ia dan warga lain berencana membuka sawah meski lahan berada di sekitar kawasan longsor.
”Satu-satunya lahan yang kami punya sudah tertutup tanah. Namun, kami tidak ingin diam, ingin melanjutkan hidup dengan bekerja kembali,” ujarnya.
Kepala Seksi Kedaruratan di Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi Eka Widiaman menyatakan, belum ada titik terang terkait lahan relokasi. Rekomendasi permukiman dan lahan garapan belum bisa dikeluarkan. Saat ini masih dilakukan sejumlah kajian untuk menentukan daerah yang benar-benar aman dari ancaman longsor.
Desa tangguh bencana
Sementara itu, Desa Majalaya, kawasan langganan banjir di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, semakin fokus mewujudkan status desa tangguh bencana. Mereka sadar mitigasi menjadi investasi berharga daripada sekadar meratap diri menjadi korban ketika bencana datang.
”Didampingi sejumlah komunitas setempat, kami giat belajar mengenali potensi bencana. Harapannya, bisa jauh lebih siap menghadapi situasi tidak terduga kelak,” kata Kepala Desa Majalaya Ate Saepudin seusai menutup pelatihan bagi 30 sukarelawan tanggap bencana Desa Majayalaya, Kamis.
Menurut Ate, pelatihan sukarelawan itu adalah lanjutan dari upaya serius mewujudkan status desa tangguh bencana. Akhir 2018, pihaknya menginisiasi pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana Desa Majalaya yang beranggotakan wakil pemerintah, warga, dan pengusaha.
Selain itu, ditetapkan juga Peraturan Desa Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengurangan Bencana agar warga punya pijakan hukum saat melakukan beragam aktivitas. Kedua hal itu menjadi beberapa syarat penetapan status desa tangguh bencana.
”Tahun 2019, kami akan mendorong langkah pengurangan bencana dipadukan dalam rencana pembangunan jangka menengah desa dan rencana kerja pemerintahan desa,” kata Ate.
Koordinator Garda Caah, komunitas mandiri bencana masyarakat di Majalaya, Riki Waskito, mengatakan, insiatif pemerintah desa itu membutuhkan dukungan semua pihak. Setelah memiliki kelembagaan dan perangkat hukum yang kuat, tantangan selanjutnya adalah menguatkan kapasitas sukarelawan dan warga.
Hal itu akan dilakukan dengan cara rutin menggelar pelatihan kebencanaan bersama warga hingga pendalaman keahlian para sukarelawan bencana.
”Kami berharap kemampuan dan keahlian warga Desa Majalaya menjadi inspirasi dan berkontribusi bagi masyarakat daerah lain,” ucapnya.
Hampir semua wilayah di Kabupaten Bandung rawan bencana, mulai dari banjir hingga tanah longsor. Riki berharap, langkah kolaboratif bisa menekan potensi kerugian yang muncul di kemudian hari. (RTG/CHE)