Huntara, Asa yang Tertahan
Bagi penyintas gempa bumi di Sulawesi Tengah yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda, pembangunan hunian sementara yang dijanjikan pemerintah bak pelipur lara. Namun, asa mendapatkan huntara itu belum sepenuhnya terwujud. Sebagian besar penyintas masih perlu bersabar.
Di salah satu tenda pengungsian di persawahan Desa Mpanau, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, berdiam Fatmiati (58) dan lima anggota keluarganya. Mereka merupakan penyintas gempa bumi yang diikuti likuefaksi pada 28 September 2018.
Selama tiga bulan terakhir mereka mengungsi di tenda itu setelah rumah mereka di Desa Mpanau yang berbatasan dengan Kelurahan Petobo, Kota Palu, terendam lumpur.
Di tenda pengungsian itu, Kamis (3/1/2019) siang, Fatmiati tengah mengasuh cucunya yang berusia sekitar satu tahun. Bayi perempuan itu terlihat kegerahan dengan keringat yang membasahi rambut dan wajahnya.
Di dalam tenda yang beratap dan berdinding terpal itu terdapat satu kipas angin. Namun, kibasan kipas angin itu tak mampu menghalau panas di dalam tenda. ”Kalau matahari terik, panas sekali di dalam tenda. Kami tidak bisa mengubah keadaan,” ujar Fatmiati.
Hawa panas di dalam tenda bukan satu-satunya kondisi yang harus dialami pengungsi di sana. Saat hujan, kompleks pengungsian yang sejatinya areal persawahan itu juga dipenuhi air. Alas tenda yang dilapisi karung, tikar, dan karpet, menjadi basah kuyup. ”Karena ini sawah, air tergenang, masuk ke dalam tenda juga,” tuturnya.
Fatmiati dan penyintas lainnya yang mendiami 50 tenda pengungsian di sana sangat berharap bisa segera menempati hunian sementara (huntara) yang dibangun di Desa Mpanau. Mereka berharap, kondisi huntara yang dijanjikan pemerintah itu lebih baik ketimbang kondisi di tendatenda darurat.
Di Desa Mpanau itu terdapat dua lokasi pembangunan huntara. Satu kompleks berlokasi persis di bagian barat pengungsian, satu lainnya sekitar 200 meter di sebelah utara tenda pengungsian.
”Kami dengar, huntara baru ditempati Maret nanti. Berarti tiga bulan ke depan kami di tenda terus,” kata Fatmiati.
Pemerintah awalnya menjanjikan penyintas menghuni huntara untuk tahap pertama pada akhir Desember 2018, tetapi hal itu tak terwujud.
Hanya sebagian kecil huntara yang sudah bisa ditempati, yakni di Kelurahan Silae, Kecamatan Ulujadi, Kota Palu. Di titik lain, termasuk di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, penyintas masih memendam asa untuk tinggal di huntara.
Selain di Desa Mpanau, masih banyak penyintas yang tinggal di tenda-tenda darurat, antara lain di Kelurahan Duyu, Kota Palu dan Desa Oloboju, Sigi. Seperti keluarga Fatmiati, para penyintas itu hidup di tenda terpal dengan alas seadanya, mulai dari papan bekas hingga spanduk bekas.
Gempa bumi yang disertai tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Donggala, 28 September 2018, mengakibatkan korban jiwa dan harta benda.
Berdasarkan catatan Pusat Data dan Informasi Bencana Sulteng per 6 Desember 2018, korban meninggal 2.227 jiwa dan korban hilang 965 jiwa. Selain itu, 1.784 unit rumah dinyatakan hilang, 24.739 unit rumah rusak berat, 18.892 unit rumah rusak sedang, dan 22.820 unit rumah rusak ringan.
Target meleset
Pemerintah menargetkan pembangunan huntara tahap pertama mencapai 669 unit dari rencana 1.200 unit. Namun, hingga saat ini, baru selesai 194 unit.
Huntara ditempati penyintas sambil menunggu pembangunan hunian tetap yang lagi-lagi ditargetkan beres dalam dua tahun ke depan. Satu kompleks huntara terdiri atas unit-unit yang berisi 12 kamar. Satu keluarga menempati satu kamar.
Sebagian penyintas telah menikmati huntara yang dibangun lembaga swadaya masyarakat atau pihak swasta, antara lain di Kelurahan Petobo dan Lere di Palu, serta di Desa Sibalaya dan Mpanau di Sigi. Huntara dibangun dari papan dengan lantai beton kasar.
Ketua Satuan Tugas Penanggulangan Bencana Sulteng Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Arie Setiadi Moerwanto menyampaikan, seretnya perampungan huntara karena terbatasnya stok baja ringan yang menjadi material utama. Selain di Sulteng, huntara juga dibangun di Nusa Tenggara Barat untuk penyintas gempa bumi yang terjadi sebelum bencana di Sulteng.
Kendala lain adalah terbatasnya tenaga terampil, terutama dalam merangkai baja ringan. Tenaga kerja lokal minim pengalaman sehingga tak bisa dipacu untuk memenuhi target pembangunan huntara.
Mohammad Jaya, salah satu kontraktor pembangunan huntara, mengakui kedua masalah itu. Ia diberi tenggat satu bulan untuk menyelesaikan satu unit huntara, tetapi di lapangan molor 1-2 minggu.
Hal ini karena produsen dan distributor baja ringan di Palu tak beroperasi setelah diterjang tsunami. Baja ringan harus didatangkan dari Sulawesi Selatan dan Gorontalo lewat jalur darat sehingga butuh waktu lama untuk sampai di Sulteng.
Jumlah tenaga kerja terampil juga tidak ideal. Dari seharusnya 15 orang untuk menyelesaikan satu unit, yang tersedia hanya separuhnya. Tenaga kerja terampil itu kebanyakan harus didatangkan dari luar Sulteng.
Namun, kedua masalah itu seharusnya bisa diprediksi dan diatasi sejak perencanaan pembangunan huntara. Ketua Panitia Khusus Pengawasan Penyelenggaraan Penanganan Bencana DPRD Sulteng Yahdi Basma menilai, pembangunan huntara tak matang sejak perencanaan. Kendala-kendala yang dihadapi sebetulnya bisa disiati sejak awal.
”Keterampilan merangkai baja ringan itu bisa dilatih. Toh hanya pelatihan menggunakan alat tembak sekrup,” katanya.
Selain masalah pembangunan yang tak memenuhi tenggat waktu, banyak contoh huntara yang ”cacat” dari perencanaan. Di Desa Lende, Kecamatan Sirenja, Donggala, huntara dibangun tak jauh dari pantai. Akibatnya, saat laut pasang, kompleks huntara tergenang.
Di titik lain, huntara yang dibangun di Kelurahan Mamboro Induk, Kecamatan Palu Utara, dinilai terlalu jauh dari lokasi awal hunian penyintas.
”Kami belum terpikir untuk tinggal di huntara. Kami mau tetap di sini,” kata Novita (34), warga Kelurahan Mamboro Induk yang memilih membangun huntara mandiri tak jauh dari lokasi rumahnya yang hancur tersapu tsunami.
Janji penempatan huntara bagi Nova (43), penyintas di Kelurahan Petobo, bak kabar yang kabur. Dia bersama penyintas lainnya sudah dua kali dijanjikan untuk segera menempati huntara. Namun, hingga saat ini hal itu belum terwujud.
Huntara barangkali titik awal untuk evaluasi. Masalah lain ke depan adalah pembangunan hunian tetap untuk penyintas. Jangan-jangan nanti lebih seret lagi dari target dua tahun. (Videlis Jemali)