”Pengadilan Putih” Drama Pembangunan dan Derita Rakyat
Oleh
Megandika Wicaksono
·3 menit baca
Di balik pembangunan oleh pemerintah, tersimpan kisah-kisah lain tentang perjuangan, derita, sekaligus romansa masyarakat jelata. Melalui pertunjukan teater berjudul ”Pengadilan Putih”, para mahasiswa-mahasiswi Institut Agama Islam Negeri Purwokerto menampilkan kisah pembangunan proyek di Kota Tua, di suatu negara yang disebut Negara Kesatuan Republik Jenaka.
Tirai tersibak membuka adegan pertama. Duduklah sepasang suami istri. Sang suami memakai beskap dan blangkon. Sang istri memakai kebaya. Namun, keduanya duduk lesu dengan tatapan mata nan hampa. Sebuah kain hitam membelenggu mulut mereka masing-masing.
Adalah Hartomo dan Rukmini, pasutri yang gigih mempertahankan rumah dan tanahnya dari upaya pembangunan jalan serta fasilitas publik bandar udara di Kota Tua. Kenangan dan kehidupan mereka bangun dari nol. Bersama para petani dan pemilik sawah, mereka bercocok tanam dan menggarap sawah. Hasil bumi menjadi andalan mereka.
Namun kini, atas rencana pembangunan dari pemerintah, satu per satu tanah dan sawah warga dilepas dan dijual. Hanya pasutri itulah yang bersikeras tinggal dan melawan. Kenangan dan perjuangan mereka tumbuh di dalam rumah dan kampung halamannya sehingga mereka tidak berkenan untuk meninggalkannya begitu saja.
Di sisi lain, pemerintah setempat dan pengusaha pemenang tender proyek pembangunan saling berkongkalikong. Segala upaya dilakukan untuk dapat segera mengosongkan lahan serta membangun infrastruktur yang jadi rencana pemerintah. Dengan gaya parlente, bertopi koboi, berkaca mata hitam besar di dada, Jatmiko sang pengusaha berulang kali selalu menekankan frasa ”rakyat yang dermawan”.
Hartomo dan Rukmini tidak diam begitu saja. Mereka mengajukan gugatan kepada pemerintah melalui pengadilan bersama tim penasihat hukumnya. Namun ternyata, gugatan mereka kalah cepat dengan pengajuan gugatan oleh sang pengusaha pemenang proyek infrastruktur.
Salah satu alasan yang diajukan dalam gugatan pengusaha itu adalah pasutri itu telah menghalangi pembangunan. Mereka pun dinilai tidak nasionalis karena dianggap melawan pemerintah.
Proses peradilan pun dimulai dengan tergugat adalah pasutri malang itu. Di meja hijau tersebut pasutri itu harus melawan sang buah hati yang dilahirkan, dibesarkan, dan disekolahkan menjadi sarjana yang bernama Rusdi. Ternyata meskipun berasal dari darah daging Hartomo dan Rukmini, Rusdi lebih memilih pro-pembangunan dan pemerintah.
Rusdi pun ikut duduk di pihak penggugat bersama Jatmiko sang pengusaha. Mereka melawan sang orangtua yang berharap tanah dan rumahnya tidak terlibas proyek pembangunan. Adu argumen saling disampaikan. Berbagai pasal perundang-undangan dilontarkan dari kedua belah pihak yang sama-sama didampingi penasihat hukum. Derai air mata terus mewarnai dialog pembelaan Rukmini. Namun pada akhirnya, seperti sudah bisa ditebak, sang hakim menghukum pasutri itu dengan pidana penjara.
Sembari menerima kekalahan dan hukuman dari pengadilan tersebut, sang pasutri Hartomo dan Rukmini pun berkata, ”Kamu adalah rumahku dan aku adalah rumahmu.”
Penulis naskah dan sutradara Pengadilan Putih, Fania Hayah, mengatakan, kisah teater yang ditampilkan Rabu (12/12/2018) di IAIN Purwokerto itu terinspirasi dari adanya sengketa agraria yang masih terjadi hingga saat ini.
Pertunjukan yang menjadi bagian dari tugas akhir mahasiswa pada mata kuliah Dramatologi itu tidak hanya ingin mengkritisi pembangunan yang dilakukan pemerintah, tetapi juga ingin menunjukkan sisi lain dari pembangunan, seperti derita petani dan juga romansa serta kekeluargaan.
Dosen mata kuliah Dramatologi IAIN Purwokerto, Musta’in, mengapresiasi karya dan kerja keras para mahasiswanya tersebut. ”Dalam drama, ada ketegangan, ada romantisisme, dan semuanya itu bisa dinikmati penonton,” tutur Musta’in.