AMBROSIUS HARTO, AGNES SWETTA PANDIA, ADI SUCIPTO KISSWARA
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS –Konstelasi politik Pemilihan Umum 2019 di Jawa Timur diprediksi tetap dinamis. Hasil dalam pilkada seperti yang digelar di jawaTimur pada 2018, belum tentu mencerminkan Pemilu 2019 yang akan memilih presiden dan wakil presiden serta anggota legislatif di tingkat pusat, provinsi maupun kabupaten/kota.
Dalam diskusi ”Dinamika Politik Jawa Timur dan Prediksi 2019” yang diselenggarakan Redaksi Harian Kompas, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga (FISIP Unair), dan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) di Surabaya, Jawa Timur, Jumat (21/12/2018), diyakini bahwa partai politik dan calon anggota legislatif akan cenderung pragmatis untuk mendapatkan kursi di parlemen. Mereka diyakini tidak terpaku untuk memenangkan pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang diusung partainya.
Hal itu tecermin pada komposisi politik yang terjadi di kubu pasangan capres dan cawapres Joko Widodo dan Ma’ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiga Salahuddin Uno. Koalisi partai politik di tingkat daerah ternyata tidak mencerminkan kondisi nasional.
Lebih spesifik misalnya di Pulau Madura. Saat Pemilihan Presiden 2014. Bupati Bangkalan saat itu, Fuad Amin, mendukung Prabowo dan Hatta Rajasa. ”Namun, kini, dari dalam Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin, Fuad mengarahkan dukungan ke Joko Widodo,” kata Haryadi, pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair.
Meski demikian, lanjut Haryadi, perilaku pemilih Jawa Timur cenderung mencoba sesuatu yang baru. Ini bisa terlihat dari kemenangan pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih Khofifah-Emil atas Saifullah Jusuf-Puti Guntur Soekarno. Padahal, dalam beberapa survei awal, Saifullah-Puti masih diyakini akan unggul atas Khofifah-Emil. Namun, kemenangan Khofifah-Emil setidaknya menggambarkan adanya kecenderungan pemilih untuk mencoba yang baru. Bisa saja kondisi itu terulang di Pemilu 2019.
Narasi positif
Airlangga Pribadi Kusman, pengajar di FISIP Unair menambahkan, sejuah ini belum ada narasi positif yang kuat dari Joko-Ma’ruf maupun Prabowo-Sandiaga kepada publik atau pemilih. Kedua kubu dinilai terjebak pada narasi politik ketakutan karena mengedepankan isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) dan atau identitas politik. Belum terlihat kedua pasangan “berperang” di era media sosial dalam adu rencana program yang mencerdaskan dan mencerahkan pemilih. Yang ada saling olok dengan mengumbar kebencian antarpihak. Kini, keterbelahan publik sejak kontestasi 2014 kian tajam.
Ketua Departemen Ilmu Politik Unair Kris Nugroho menilai kader partai terutama caleg tidak solid mengamankan kebijakan untuk turut memenangkan capres-cawapres. Caleg lebih berpikir pragmatis yakni terpilih dan partai memenuhi parliament electoral treshold.
Hal ini diakui oleh Handari Al Chosih, caleg DPRD Jatim. Menurutnya, hal yang tak mudah untuk memastikan jalan ke parlemen aman sekaligus memberi jaminan keunggulan suara bagi Prabowo-Sandiaga di daerah pemilihan Malang Raya tempatnya berkontestasi.
Kader Partai Nasdem Mochammad Mubarok mengatakan, partai punya strategi tersendiri untuk merebut banyak suara. Misalnya, mengampanyakan partai dan caleg seiring dengan capres-cawapresnya. “Konsolidasinya harus mengampanyekan capres-cawapres, tetapi berusaha keras juga untuk kemenangan partainya,” ujarnya.
Ketua Indonesia Voter Initiative for Democracy (IViD) Jawa Timur Muhammad Faizin berpandangan, pemilu 2019 yang digelar serentak antara pileg dan pilpres, berpotensi membingungkan publik.