BANGKALAN, KOMPAS – Gubenur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Hamengku Buwono X mengatakan, Pemilu merupakan pilihan politik yang dimilik oleh rakyat. Maka merupakan wewenang dan keputusan rakyat untuk memutuskannya masing-masing melalui bilik suara nanti saat pemungutan suara.
Jadi terhadap ketegangan politik akibat masa kampanye dalam Pemilihan Presiden, Hamengku Buwono minta agar pemilihan Presiden bisa dibuat bukan dalam bahasa saling menghancurkan, melainkan bahasa program kerja.
Hamengku Buwono X menjawab pertanyaan wartawan usai memberikan pidato di depan Civitas Akademica Universitas Trunojoyo Madura (UTM) di Kabupaten Bangkalan, Rabu (12/12/2018).
Acara dihadiri sejumlah tokoh, pakar Hukum Tata Negara Mahfud MD, Rektor UTM Muhammad Syarif, pakar ekonomi Sri Edi Suwasono. HBX diundang menyampaikan pidato kebangsaan, antara lain mengulas hubungan kesejarahan Keraton Yogyakarta dan Kesultanan Mataram dengan pusat-pusat kekuasaan kesultanan di Madura.
HBX mengatakan kepada pers, Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif merupakan proses yang dimiliki oleh rakyat, dan menjadi hak rakyat menentukan keputusannya.
Terhadap ketegangan politik yang muncul diantara kelomok-kelompok pendukung kandidat, HBX menilai, jangan dilakukan dengan cara saling menghancurkan. Sebab pihak yang paling berisiko mendapat bebannya, nantinya rakyat.
“Sebaiknya bahasa Pilpres bukan dibuat saling menghujat, melainkan bahasa program kerja. Bahasa yang lebih berkualitas, untuk bisa diteladani oleh rakyatnya,” katanya.
HBX menegaskan, saat ditanya sikap keraton sejauh ini terhadap jalannya praktek demokrasi Pemilu. “Keraton bukan lembaga politik (tidak memberi sikap terhadap jalannya praktek Pilpres),” katanya.
“Keraton itu kan hanya artefak. Hanya bangunan. Sedangkan politik adalah hak yang dimiliki penghuni keraton. Keraton tidak harus bersikap,” tegasnya.
Machfud MD mengatakan, peran Keraton Yogyakarta sangat penting selama sejarah perjuangan menegakkan kemerdekaan. Tahun 1946 Presiden Soekarno harus keluar dari Jakarta akibat Konvensi Wina memutuskan, Jepang sebagai bekas penjajah harus menyerahkan tanah jajahan kepada penjajah Indonesia sebelumnya, Belanda. Bung Karno dilindungi dan dihidupi hingga 1949 di Yogyakarta oleh HBIX.
HBX mengatakan, dalam hubungan dengan Madura, dalam catatan Keraton, Sultan Agung mendapat bantuan prajurit keraton asal Madura dan Bugis saat hendak menyerang VOC di Batavia. Para prajurit Madura itu kemudian mukim di Yogyakarta, yang dikenal tinggal di daerah Surokarsan.
Rektor UTM Muhammad Syarif mengatakan, kehadiran HBX dan Sultan Jawa ini ke tanah Madura merupakan peristiwa bersejarah, sebab inilah pertama kalinya Raja Jawa berkunjung ke Madura.