SEMARANG, KOMPAS – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Semarang, Supriyadi berharap Dinas Perhubungan dan Satuan Lalu Lintas Kepolisian Kota Besar (Polrestabes) Semarang untuk mengkaji ulang pelaksanaan sistem tilang elektronik yang dimulai sejak 3 Desember 2018.
Pelaksanaan e-tilang ternyata hanya berdasarkan hasil keputusan rapat bersama antara instansi terkait dengan pihak Pengadilan Negeri Kota Semarang ini, juga telah mengabaikan adanya ketentuan dalam Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Dalam menjalankan program e-tilang memang tujuannya bagus, yakni memudahkan bagi pelanggar aturan lalu lintas untuk menyelesaikan denda atas pelanggarannya. Jadi tidak perlu antri di pengadilan negeri maupun harus ke kejaksaan guna mengambil bukti pelanggaran. Hanya saja, pengendara sepeda motor yang tidak mengenakan helm kok dipatok dendanya Rp 70.000 tanpa melalui putusan sidang,” ujar Supriyadi, Senin (10/12/2018) pada diskusi Menyoal Sistem Tilang Elektronik di Semarang.
Supriyadi juga mencermati pelaksanaan e-tilang hanya diterapkan di lima titik dari 48 titik lampu pengatur jalan (traffic light) yang telah dipasangi kamera pengawas (CCTV). Lima titik itu meliputi perempatan Jalan Gajah Mada, seputaran Tugu Muda di Pandanaran, Jalan Pahlawan Simpang Polda Jateng serta Jalan Ahmad Yani, Kota Semarang.
Adanya penerapan sistem e-tilang itu, sebenarnya sudah dimulai sejak pertengahan 2017. Program ini dijalankan setelah Pemkot Semarang melakukan sosialisasi ke masyarakat dalam banyak kesempatan di banyak kecamatan. Namun, pelaksanaan sistem e-tilang ketika itu hanya berjalan sekitar dua bulan kemudian dihentikan begitu saja. Salah satu faktor dihentikannya penindakan atas pelanggar lalu lintas melalui e-tilang diantaranya tidak siapnya proses persidangan di pengadilan negeri.
Wakil Kepala Satuan Lalu Lintas Polrestabes Semarang, Komisaris Polisi Sumiarta mengatakan, sistem e-tilang bertujuan untuk menghilangkan kontak fisik antara petugas kepolisian dengan pihak pelanggar. Dengan model pembayaran atas denda pelanggaran melalui e-tilang, tentunya tidak ada peluang bagi petugas kepolisian untuk bermain mata dengan pihak pelanggaran lalu lintas.
“Ini juga bagian dari upaya mencegah korupsi di bidang lalu lintas,” ujar Komisaris Polisi Sumiarta.
Sumiarta mengemukakan, sistem e-tilang masih memerlukan penyempurnaan itu tetap akan diuji coba terus seraya terus dievaluasi. Hasil rapat koordinasi Pemkot Semarang, Dinas Perhubungan, Satylantas Polrestabes Semarang, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri telah memutuskan, setiap pelanggar yang terjaring sistem e-tilang akan diberi waktu 4 hari guna melakukan klarifikasi.
Pihak pelanggaran akan memperoleh surat tilang yang dikirim ke rumahnya oleh kursir dari PT Pos Indonesia. Setelah 4 hari setelah memperoleh surat itu, pelanggaran harus segera menyelesaikan membayar denda ke bank. Bisa juga dia melakukan klarifikasi ke posko penerapan e-tilang di pos polisi di pojok Simpang Lima Semarang.
“Bila kendaraan bermotor yang digunakan saat melanggar itu telah dijual ke pihak lain, tentunya pemilik dapat melaporkannya dan melakukan pemblokiran ke Kantor Samsat Kota Semarang, agar ditindaklanjuti petugas. Yakni, si pemilik baru harus melakukan proses balik nama kendaraan bermotor yang dimilikinya, tapi surat kendaraan masih atas nama pihak lain,” ujar Sumiarta.
Pihaknya mengakui, hampir 50 persen kendaraan bermotor yang melanggar bukan lagi ditangan pemilik asli. Kendaraan bermotor itu sudah dijual ke pihak lain, dan pihak lain belum melakukan balik nama.
Dari catatan di Satlantas Polrestabes Semarang, setiap hari rata-rata pelanggaran lalu lintas yang telah ditindak secara manual, belum melalui sistem e-tilang di Kota Semarang ini mencapai antara 700 hingga 800 kendaraan bermotor. Jumlah ini ternyata tidak dapat termonitor oleh sistem e-tilang mengingat yang berhasil terpantau petugas melalui kamera pengawas hanya 5-7 pelanggar setiap harinya.
Kepala Dinas Perhubungan Kota Semarang, M Khadik menegaskan, setelah 4 hari dari pihak pelanggar tidak melakukan klarifikasi serta tidak melaporkan mengenai status kendaraan maka pihaknya menyerahkan hal tersebut ke pengadilan negeri dan Kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) guna dilakukan pemblokiran terhadap terhadap kendaraan bermotor yang tidak lagi diurus oleh pemiliknya.