Pengidap Disfungsi Ereksi Jangan Mencari Jalan Pintas
Oleh
DODY WISNU PRIBADI
·3 menit baca
SURABAYA, KOMPAS - Disfungsi ereksi (DE) atau impotensi pada pria bisa disembuhkan jika segenap protokol pemeriksaan medis pada pengidap gangguan metabolisma ini dipatuhi. Masalahnya acap kali para pria pengidap DE mengambil jalan pintas dengan menyelesaikannya di "pinggir jalan", membeli "obat kuat" jalanan yang tidak terjamin khasiat dan keamanannya.
Penjelasan itu disampaikan androlog (ilmu kedokteran tentang alat reproduksi pria) RSUD DR Soetomo Susanto Suryoatmojo di Surabaya, Rabu (5/12/2018).
"DE masih terus-menerus diliputi mitos di antara para pria. Padahal dampaknya serius terhadap kualitas hidup. Berakibat pada munculnya depresi dan agresivitas (pemarah). Tidak hanya pria bersangkutan, dampak DE kemudian juga dihadapi oleh istrinya, atau kaum wanita," kata Susanto.
Penelitian Global Study of Sexual Attitudes and Behaviour (GSSAB) melibatkan 27.500 responden pria dan wanita di 29 negara mendapati, kebanyakan pria dan wanita yang menghadapi DE tidak berkonsultasi pada dokter.
Diketahui, ada faktor budaya atas kondisi tersebut. Pria Asia umumnya kurang aktif seksual dibandingkan dengan pria barat. Pria Asia umumnya juga berpandangan konservatif. Menurut Susanto, ada anggapan DE merupakan hal normal seiring dengan bertambahnya usia.
Padahal kebahagiaan seksual bisa dinikmati tanpa batas usia. Padahal pula, kini DE sudah diketahui bisa muncul pada usia muda 30 an tahun.
DE pada dasarnya petunjuk atas adanya penyakit pembuluh darah yang sangat multifaktor, yakni kinerja hormon, tekanan darah tinggi, diabetes, kardiovaskuler dan banyak penyebab. Masyarakat umumnya keberatan melakukan pemeriksaan di laboratorium untuk mengetahui apa persisnya penyebab DE yang dialami. Lalu , memutuskan belanja obat kuat di warung obat pinggir jalan.
"Padahal setiap orang memiliki masalah metabolisme penyebab DE yang berbeda-beda secara individual. Ini memerlukan pemeriksaan menyeluruh. Para pria lebih memilih belanja ratusan juta rupiah untuk mobil daripada membelanjakan beberapa juta rupiah untuk uji lab yang lengkap," katanya.
Handoko Santoso, dokter pada salah satu industri obat mengatakan, mitos lain seputar DE adanya pengobatan alternatif herba untuk DE. Peminatnya besar namun bukti-bukti klinis menunjukkan belum ada obat herba untuk DE. Secara medis dianjurkan, DE ditangani dengan protokol pemeriksaan dan pengobatan sesuai hasil laboratorium.
Susanto mengatakan, berdasar pengalamannya di klinik andrologi RSUD Soetomo dan RS Adi Husada, prevalensi DE pada usia sampai 40 sekitar 10 - 15 persen, dan meningkat pada rentang usia tinggi hingga yang disebut pre-andropause pada usia 45 ke atas. Laki-laki yang mengalami ini biasanya disebut "laki-laki tua" yang menceritakan munculnya masalah DE.
"Laki-laki masih berfungsi baik pada usia 55 bahkan dengan perawatan yang baik hingga 95. Jadi jangan ragu-ragu untuk penderita DE memeriksakan diri kepada androlog dan mencari jalan keluar. DE pada dasarnya bukan penyakit dan hanya petunjuk adanya masalah kesehatan lain. Masalah inilah yang harus diobati," katanya.